Tercekak rasanya tenggorokan ini melihat satu demi satu harta dari salah seorang tersangka koruptor yang disita oleh komisi anti rasuah di negeri ini.
Dengan usianya yang "baru" menginjak 44 tahun, tentu menjadi "prestasi" jika melihat deretan mobil-mobilnya yang kini menjadikan KPK bak showroom mobil mewah.
Sebut saja, 1 Bentley hitam, 1 Rolls Royce hitam, 1 Lamborghini putih, dan 1 Ferrari merah. Itu belum ditambah belasan mobil lainnya dan juga motor tenar Harley Davidson.
Dan itu dihasilkan lewat "kerja keras" meraup proyek demi proyek di salah satu provinsi yang pembangunannya malah disebut paling tertinggal di seantero Indonesia ini. Tentunya dengan sedikit bantuan hubungan keluarga dari kepala daerahnya.
Tapi itu tentu belum apa-apa dibandingkan yang satu ini. Akan sulit mengatupkan mulut jika kelakuan seorang yang pernah dianggap orang yang "paling" mengerti mengenai konstitusi, justru mencederai esensi dari kontitusi itu sendiri.
Di balik jubah hitam dan meja peradilannya yang megah, tersembunyi ratusan miliar rupiah uang suap dan juga puluhan unit mobil hasil pencucian uang.
Ini tentu melengkapi berbagai tindakan nista dari para wakil rakyat yang menyuarakan anti korupsi hanya di mulut, sementara jari-jemari mereka melanglang buana mencari proyekan.
Mulai dari seorang lurah di timur Jakarta, hingga anggota DPR di Senayan. Mulai dari camat di Kramat Jati, hingga seorang ketua Mahkamah Konstitusi. Tentu kita semua bisa berkata korupsi sudah meluluh lantak kan negeri ini.
Tapi, tunggulah sebentar sebelum kita mengambil kesimpulan.
Bukankah suatu yang besar pasti dimulai dari suatu yang kecil?
Bukankah sebelum mencapai lantai keseratus, Kita harus meniti anak tangga yang pertama?
Layaknya sebuah jabatan dalam birokrasi, mungkin saja "prestasi" dan besarnya hasil korupsi para koruptor tersebut hasil dari kesabaran meniti satu demi satu tangga tersebut?
Belajar sedikit demi sedikit seluk beluk hukum agar dapat dikangkangi dengan berbagai tipu muslihat.
Pertanyaannya, apakah kita berada di tangga yang sama dengan para koruptor yang kita cemooh itu?
Cobalah tengok para pengendara motor di jalan, mungkin kita juga termasuk. Ketika jalur kita penuh, seberapa sering kita bersabar untuk tidak mengambil jalur pejalan kaki.
Kalau kita sedikit lebih diberkahi dan memiliki mobil, seberapa sabar kita untuk tidak dengan arogan mengambil jalur Bus Transjakarta?
Ataukah kita hanya sabar ketika melihat aparat berseragam karena takut ditilang? Bukankah kita sama saja dengan para pelaku korupsi yang takut ditangkap oleh KPK.
Ahh, tapi kan saya tidak mengambil uang negara.
Eits! Ingat, anak tangga keseratus dimulai dengan anak tangga pertama.
Korupsi puluhan miliar itu, tentu saja dapat dimulai dengan mulai mengambili atap halte Transjakarta.
Tapi kan harganya tidak sebanding!!!
Bukankah itu tetap saja merugikan negara? Pemerintah harus membuat atap baru. Pejalan kaki dan pengguna Transjakarta harus kehujanan ataupun kepanasan.
Betapa mudahnya bangsa ini menolerir perilaku korupsi yang "dianggap" kecil, tapi bak kebakaran jenggot akan pelaku korupsi yang besar-besaran menggerogoti uang rakyat.
Tapi, tunggu dulu, sebelum kita marah-marah karena uang rakyat direbut utk kepentingan pribadi, sudahkah kita membayar pajak?
Uang rakyat yang dikorupsi tentu saja uang hasil pajak. Jadi kalau kita belum membayar pajak, sepertinya kita tidak punya hak untuk marah marah.
Kembali ke toleransi. Seberapa sering kita menoleransi berbagai hal yang ujungnya menguntungkan kita. Tapi kita mengajukan keberatan jika itu untuk kepentingan orang lain?
Jadi apa bedanya kita dengan pelaku korupsi yang selalu memikirkan diri sendiri. (Begitu kan kita menganggap mereka?)
Kalau begitu, sudahkan kita berhak menghakimi para tersangka itu?
Atas kejahatan dan pelanggaran mereka, para koruptor memang patut dihukum. Tapi biarlah kita sedikit bijak juga dalam menilai tingkah dan laku kita.
Akhirnya, sepertinya kita perlu memikirkan kata kata dari sosok terbesar di bumi ini : "Barangsiapa yang tidak bersalah, biarlah dia yang melempar batu terlebih dahulu."
Dengan usianya yang "baru" menginjak 44 tahun, tentu menjadi "prestasi" jika melihat deretan mobil-mobilnya yang kini menjadikan KPK bak showroom mobil mewah.
Sebut saja, 1 Bentley hitam, 1 Rolls Royce hitam, 1 Lamborghini putih, dan 1 Ferrari merah. Itu belum ditambah belasan mobil lainnya dan juga motor tenar Harley Davidson.
Dan itu dihasilkan lewat "kerja keras" meraup proyek demi proyek di salah satu provinsi yang pembangunannya malah disebut paling tertinggal di seantero Indonesia ini. Tentunya dengan sedikit bantuan hubungan keluarga dari kepala daerahnya.
Tapi itu tentu belum apa-apa dibandingkan yang satu ini. Akan sulit mengatupkan mulut jika kelakuan seorang yang pernah dianggap orang yang "paling" mengerti mengenai konstitusi, justru mencederai esensi dari kontitusi itu sendiri.
Di balik jubah hitam dan meja peradilannya yang megah, tersembunyi ratusan miliar rupiah uang suap dan juga puluhan unit mobil hasil pencucian uang.
Ini tentu melengkapi berbagai tindakan nista dari para wakil rakyat yang menyuarakan anti korupsi hanya di mulut, sementara jari-jemari mereka melanglang buana mencari proyekan.
Mulai dari seorang lurah di timur Jakarta, hingga anggota DPR di Senayan. Mulai dari camat di Kramat Jati, hingga seorang ketua Mahkamah Konstitusi. Tentu kita semua bisa berkata korupsi sudah meluluh lantak kan negeri ini.
Tapi, tunggulah sebentar sebelum kita mengambil kesimpulan.
Bukankah suatu yang besar pasti dimulai dari suatu yang kecil?
Bukankah sebelum mencapai lantai keseratus, Kita harus meniti anak tangga yang pertama?
Layaknya sebuah jabatan dalam birokrasi, mungkin saja "prestasi" dan besarnya hasil korupsi para koruptor tersebut hasil dari kesabaran meniti satu demi satu tangga tersebut?
Belajar sedikit demi sedikit seluk beluk hukum agar dapat dikangkangi dengan berbagai tipu muslihat.
Pertanyaannya, apakah kita berada di tangga yang sama dengan para koruptor yang kita cemooh itu?
Cobalah tengok para pengendara motor di jalan, mungkin kita juga termasuk. Ketika jalur kita penuh, seberapa sering kita bersabar untuk tidak mengambil jalur pejalan kaki.
Kalau kita sedikit lebih diberkahi dan memiliki mobil, seberapa sabar kita untuk tidak dengan arogan mengambil jalur Bus Transjakarta?
Ataukah kita hanya sabar ketika melihat aparat berseragam karena takut ditilang? Bukankah kita sama saja dengan para pelaku korupsi yang takut ditangkap oleh KPK.
Ahh, tapi kan saya tidak mengambil uang negara.
Eits! Ingat, anak tangga keseratus dimulai dengan anak tangga pertama.
Korupsi puluhan miliar itu, tentu saja dapat dimulai dengan mulai mengambili atap halte Transjakarta.
Tapi kan harganya tidak sebanding!!!
Bukankah itu tetap saja merugikan negara? Pemerintah harus membuat atap baru. Pejalan kaki dan pengguna Transjakarta harus kehujanan ataupun kepanasan.
Betapa mudahnya bangsa ini menolerir perilaku korupsi yang "dianggap" kecil, tapi bak kebakaran jenggot akan pelaku korupsi yang besar-besaran menggerogoti uang rakyat.
Tapi, tunggu dulu, sebelum kita marah-marah karena uang rakyat direbut utk kepentingan pribadi, sudahkah kita membayar pajak?
Uang rakyat yang dikorupsi tentu saja uang hasil pajak. Jadi kalau kita belum membayar pajak, sepertinya kita tidak punya hak untuk marah marah.
Kembali ke toleransi. Seberapa sering kita menoleransi berbagai hal yang ujungnya menguntungkan kita. Tapi kita mengajukan keberatan jika itu untuk kepentingan orang lain?
Jadi apa bedanya kita dengan pelaku korupsi yang selalu memikirkan diri sendiri. (Begitu kan kita menganggap mereka?)
Kalau begitu, sudahkan kita berhak menghakimi para tersangka itu?
Atas kejahatan dan pelanggaran mereka, para koruptor memang patut dihukum. Tapi biarlah kita sedikit bijak juga dalam menilai tingkah dan laku kita.
Akhirnya, sepertinya kita perlu memikirkan kata kata dari sosok terbesar di bumi ini : "Barangsiapa yang tidak bersalah, biarlah dia yang melempar batu terlebih dahulu."
Comments
Post a Comment