Greg Asimakoupoulos – Majalah Breakaway Agustus 2003 – It’s Not About Me
Peter adalah seseorang yang sedari muda sudah mendambakan tantangan. Ia senang
menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendaki gunung, berenang, dan menjalani kompetisi fisik untuk menguji daya tahannya.
Ketika ia masuk ke Wheaton Academy, ia memanfaatkan kesempatan menghabiskan
musim panasnya dengan mengikuti beberapa perjalanan misi. Perjalanan-perjalanan tersebut adalah sebuah tantangan memberitakan injil ke Alaska, Arizona, Guatemala, dan Republik Dominika.
Tanpa memberitahukan siapapun, Peter mulai berencana berjalan menyusuri
Appalachian Trail (AT) pada musim panas setelah tahun pertamanya di Wheaton College. Ia pun berbicara pada salah satu pemimpin di perjalanan misi untuk meminta nasihat.
Setelah mendengar rencana Peter, sang pemimpin menganggap rencana Peter adalah
suatu tujuan yang hebat. Tetapi menurutnya, Peter tidak akan mungkin bisa melakukan itu
dalam kurun waktu 3 bulan. Menurutnya, dari semua yang pernah dia baca, rata-rata orang membutuhkan kurun waktu 6 bulan untuk menempuh AT.
Meski demikian, Peter terus mendesaknya hingga akhirnya dia menyerah dan berkata
mungkin Peter-lah yang dapat melakukan perjalanan sesingkat itu. Peter pun kemudian mulai menjalankan program selama 5 bulan untuk mempersiapkan kardiovaskular dan kekuatan fisiknya. Selain berlatih angkat beban dan melakukan senam setiap hari.
12 Mei 2002, Setelah didoakan keluarga dan teman-teman gerejanya, Peter
mengucapkan selamat tinggal ke ayah dan kakaknya, lalu mulai menyusuri jalan di Springer Mountain, Georgia.
Memasuki hari kedelapan petualangannya, Peter dilanda kerinduan akan kampung
halamannya dan kakinya sudah melepuh sebesar ibu jari. Di tengah kesulitannya, pada hari kesembilan Peter menemukan telepon umum dan menelpon Doug Franklin, yang mengatur perjalanan misi Peter saat SMA. Doug mengatakan beberapa hal yang benar-benar menguatkan dan menggugah kembali semangat Peter. Menurut Doug, dalam perjalanan panjang kita tidak dapat fokus hanya pada tujuan akhir. Sebaliknya kita harus fokus menyelesaikan jarak tempuh dari hari ke hari.
“Tuhan mengetahui bahwa saya perlu suntikan semangat” kata Peter. Di sepanjang
bulan berikutnya Peter mulai mampu mempertahankan semangatnya dan bersikap positif
sambil mengingat Mazmur 119.
Namun, memasuki hari yang ke 38, Peter mulai terpuruk lagi. Setelah mencapai jarak
343 kilometer dengan sepatu botnya yang kedua dalam delapan hari, kakinya sudah kembali penuh luka terkelupas. Setiap langkahnya dilalui dengan rasa perih yang mendera.
Dalam kondisi ini, sekali lagi Tuhan tahu apa yang dibutuhkan Peter. Malam itu di
tempat persinggahan terdekat Peter bertemu dengan Rich, seorang pria setengah baya yang prihatin dengan kondisi Peter.
Rich bercerita kepada Peter bahwa dulu ia adalah seorang prajurit angkatan laut. Yang
lebih indah lagi dia juga seorang Kristen. Sepanjang jalan berikutnya, Rich menemani Peter dan mendorongnya untuk bertahan.
Peter akhirnya berhasil sampai ke suatu tempat yang disebut Pegunungan Putih (White
Mountains) di New Hampshire. Namun, ia merasa belum puas dengan kemajuannnya dan
akhirnya melanjutkan hingga ke sebuah pondok padang gurun yang bernama Mizpah Hut.
Peter akhirnya menyadari bahwa jika akhirnya Ia bisa tiba di pondok itu, ini juga adalah
penghiburan Tuhan. Pemandian air panas yang ada bukan saja menyegarkan dirinya, tapi juga menumbuhkan kembali semangat dan dorongan yang ia butuhkan.
Di penginapan ini pula, Peter menjumpai seorang pemuda berusia 19 tahun bernama
Ryan. Kepada Peter, Ryan menyebut dirinya sebagai Two-Step (Dua Langkah).
Perjumpaan dengan Ryan membuat Peter heran karena dia telah melakukan perjalanan
panjang dan orang-orang yang sering ditemuinya adalah pensiunan atau mereka yang sudah hampir berusia 30 an tahun.
Kepada Peter, Two Steps bercerita bahwa ia sebenarnya hanya ingin menempuh paruh
kedua dari perjalanan ini. Hal itu ia lakukan untuk menghormati keinginan dari kakaknya yang baru saja meninggal akibat kecelakaan mobil sehingga tidak dapat menyelesaikan perjalanan.
“Kakak saya sudah menyelesaikan bagian pertama pada musim panas tahun lalu, karena
itu saya menyebut diri saya Two Step karena saya ingin menyelesaikan ini untuk Kakak saya,” ungkap Ryan kepada Peter.
Mendengar kisah ini, Peter pun mengajak teman barunya untuk berjalan bersama di 15
hari terakhir dan Ryan menerimanya.
Jelang akhir perjalanannya, Peter menerima kabar bahwa seorang teman sekelasnya
meninggal dunia karena kecelakaan mobil.
“Ini benar-benar merupakan kehendak Tuhan, di sini saya sedang berjalan dengan
teman baru saya yang kakaknya meninggal karena kecelakaan mobil. Sekarang saya mendengar kabar teman se-asrama saya baru meninggal dengan cara yang sama,” kenang Peter.
Hal ini membuka peluang bagi Peter untuk dapat berbicara dengan Ryan tentang apa
artinya memiliki hubungan dengan Yesus. Mereka akhirnya membicarakan banyak hal tentang surga dan neraka dan kemana manusia pergi setelah kematian.
Pada akhir perjalanan, Peter berkata bahwa perjalanan ini, memang sangat melelahkan.
Namun ada banyak sekali hal yang lebih mengesankan baginya. Lewat perjalanan ini, Peter melihat betapa miripnya menjadi murid Kristus dengan sebuah perjalanan pendakian.
“Untuk mencapai garis akhir, kita harus fokus mengikut Yesus satu hari demi satu hari.
Saya rasa itulah sebabnya orang menyebut kehidupan kristiani sebagai perjalanan bersama
Tuhan,” kata Peter.
***
Seperti Peter, setiap kita memiliki tujuan yang hendak dicapai. Menjadi lulusan terbaik,
berhasil dalam pekerjaan, memiliki usaha yang sukses, dan banyak lagi harapan yang hendak dicapai.
Meski demikian, kita tidak boleh lupa dengan tujuan utama dari hidup ini, yakni
menjalani satu langkah demi satu langkah bersama dengan Tuhan yang telah menebus hidup kita.
Kiranya dalam mengejar setiap cita-cita kita, kita tidak melupakan panggilan dan
bersungguh-sungguh menjalin relasi dengan Tuhan sehingga kita boleh mengalami Tuhan
secara pribadi bekerja di hidup kita.
Terjemahan ini sudah dipublikasikan di Majalah Dynamagz edisi Desember 2016
Comments
Post a Comment