Bagi sebagian orang, buku adalah hal yang membosankan. Duduk, diam, dan membaca seringkali dianggap tidak senilai dengan aktifitas menyenangkan lainnya seperti berolahraga atau berbelanja. Namun, hukum tersebut tidak berlaku bagi seorang Reksa Anindya. Baginya, buku adalah sesuatu yang unik. ”Dengan membaca buku, kita bisa mendapatkan banyak informasi. Dari A sampai Z,” katanya.
Adalah buku No One’s Perfect yang menjadi awal perjumpaan pria kelahiran 14 April ini dengan buku bacaan. Buku yang bercerita tentang perjuangan orang-orang cacat itu didapatnya ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Al-Azhar, Bekasi. Sejak saat itu, sosok seorang Reksa tidak bisa dipisahkan dari buku-buku yang dibacanya.
Ditanya mengenai buku-buku kegemarannya, Reksa menyinggung buku-buku biografi, filsafat, dan buku tentang kehidupan sebagai pilihan pertamanya. Menurut pria yang tinggal di Perumahan Harapan baru Regency tersebut, buku-buku seperti itu mengandung banyak pembelajaran yang pada akhirnya akan memberikan faedah bagi kehidupannya.
Melanjutkan pendidikan di SMA Al-Azhar Kemang Pratama, Bekasi, ketertarikannya akan buku tidak pernah surut. Bahkan, kecintaannya itu diwujudkan saat ia mengikuti SPMB perguruan tinggi negeri pada tahun 2002. Di urutan pertama, pria yang juga menyukai kehidupan dan manusia memilih Jurusan Psikologi di Universitas Indonesia. Sedangkan di urutan kedua, kesukaannya akan buku mendorong Reksa untuk memilih Jurusan Perpustakaan di Universitas Padjadjaran Bandung.
Akhirnya, takdir menentukan Jurusan Perpustakaan di Unpad sebagai bidang yang harus ditekuni oleh Reksa. Di institusi pendidikan itu, Reksa tidak hanya belajar bagaimana menulis buku atau membuat resensi. ”Kita juga belajar bagaimana mengklasifikasikan buku dan membuat sistem untuk mengelola sebuah perpustakaan,” ungkapnya lebih jauh.
Setelah lulus pada empat tahun yang lalu, Reksa menjadi pustakawan di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang berdiri di wilayah Serpong, Tangerang Selatan, sejak tahun 2008. Di sana, Reksa mengelola 1000-2000 judul buku yang totalnya mencapai 5600 eksemplar buku. Semua buku-buku ini mewakili empat fakultas yang ada di universitas yang tergabung dalam Kompas-Gramedia Grup tersebut. ”Setiap bulan biasanya ada pembelian buku baru. Tapi tidak selalu,” katanya lebih jauh.
Sebagai seorang pustakawan, Reksa tidak hanya berurusan dengan buku. Kesehariannya juga dijalani sebagai mediator antara pihak mahasiswa yang mempergunakan fasilitas perpustakaan dengan pihak manajemen kampus yang menyediakan fasilitas tersebut. Terkait hal itu, susah-susah gampang. Lebih jauh Reksa menggambarkan bahwa ia kerapkali harus menjadi penyambung lidah mahasiswa akan kebutuhan-kebutuhan mereka yang belum dipenuhi pihak kampus. Namun, di sisi yang lain, ia juga berhadapan dengan kepentingan kampus yang lebih luas sehingga tidak bisa mengakomodir semua kebutuhan mahasiswa.
Disinggung tentang suka-duka sebagai seorang pustakawan, Reksa menyatakan selama bekerja di UMN, kedua hal itu dirasakannya seimbang. Di satu sisi ia menikmati karena dengan menjadi seorang pustakawan, ia memiliki kesempatan yang besar untuk membaca banyak buku yang belum pernah dibacanya. Selain itu, Reksa melihat bahwa menjadi pustakawan tidak hanya menjawab kesukaannya terhadap buku, tetapi juga menjadi jawaban atas kesukaannya akan manusia dan kehidupan. ”Disini, sebagai pustakawan, saya menjadi penyambung antara manajemen dan mahasiswa.”
Sebaliknya, ia kadangkala berduka ketika melihat pola dan tingkah laku dari banyak mahasiswa yang tidak menghargai perpustakaan. Banyak mahasiswa yang rebut ketika berada di perpustakaan. Reksa juga menjelaskan para mahasiswa tersebut seringkali tidak menjaga kerapihan dan kebersihan di dalam perpustakaan itu sendiri. ”Banyak bangku yang digunakan namun tidak dikembalikan ke tempatnya. Selain itu, banyak juga sampah yang berserakan seperti kertas dan makanan, padahal ada peraturan yang jelas untuk tidak membawa makanan ke dalam perpustakaan,” tuturnya panjang lebar. Akibatnya, Reksa sering merasa perpustakaan yang ada bukan lagi sebuah perpustakaan, melainkan lebih tampak seperti sebuah pasar.
Meraih titel sarjana dan berkecimpung di bidang yang disukai, tidak membuat Reksa berpuas diri. Ketekunannya untuk menimba ilmu lebih banyak lagi menjadi pemicu untuk menjalani pendidikan pasca-sarjana di Universitas Indonesia Jurusan Sumber Daya Manusia. Ditanya alasannya, Reksa mendasari pilihan tersebut kepada ketertarikan tentang manusia yang telah ia miliki sejak dulu. ”Dengan menjadi HRD, kita dituntut untuk bisa menempatkan orang yang tempat pada posisi yang tepat. Dan itu adalah sebuah tantangan.”
Ya, itulah Reksa Anindya. Baginya, hidup ini adalah sebuah tantangan, termasuk pendidikan dan pekerjaan yang sedang dilakoninya saat ini. ”Pekerjaan ini adalah sebuah tantangan. Dan ketika ada tantangan lain yang bisa membuat saya lebih berkreasi, maka saya akan mengambil tantangan itu,” ujarnya.
Oleh karena itu, meskipun setiap hari harus menjalani kehidupannya antara Serpong dan Bekasi, dimana ia menghabiskan banyak waktunya di jalan, Reksa tidak menganggap hal tersebut sebagai sebuah beban. Semua itu selalu dijalaninya dengan ikhlas. Ikhlas menjalani semua tanggung jawab yang diembannya.
***
Comments
Post a Comment