Matahari mulai terbenam di bilangan Raden Saleh, Jakarta Pusat. Petang itu, suasana di Jalan Raden Saleh cukup ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Ditambah pula di sisi kiri dan kanan jalan banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya. Tak ketinggalan deretan pertokoan, minimarket, serta restoran padang yang berdiri tepat di seberang Rumah Sakit Cikini.
Tak jauh dari restoran padang tersebut, tepatnya sekitar 25 meter, terdapat sebuah jalan yang lebih kecil. Di pintu masuk jalan itu, para tukang ojek tampak duduk di atas motor. Tertawa-tawa sambil sesekali menghisap rokok.
Tak lama, tampaklah sepasang anak muda memasuki jalan itu. Seorang pemuda yang mengenakan kaos dan bercelana panjang jeans tampak berjalan bersama dengan seorang pemudi yang juga mengenakan pakaian serupa. Sesekali perempuan muda itu memegangi perutnya yang sedikit membuncit.
Berjalan beberapa langkah, mereka terlihat kebingungan. Kondisi yang dijumpai disana tidaklah sama dengan informasi yang mereka dapatkan. Tidak ada seorangpun yang menghampiri mereka tatkala mereka memasuki jalan tersebut. Akhirnya mereka hanya bisa memasuki jalan itu lebih dalam.
Menyusuri jalan tersebut, berdiri rumah-rumah yang terkesan sudah tua. Mayoritas rumah yang ada di sepanjang jalan itu bercat dinding putih. Beberapa tidak lagi berfungsi sebagai rumah tinggal. Ada yang dijadikan rumah makan atau café. Bahkan pada sebuah rumah yang berpagar besi terpasang sebuah papan nama. Dr IO, Spesialis Obstetri dan Ginekologi.
”Nyari apa, mas?” seorang pria menyapa sepasang anak muda itu. Pria paruh baya itu duduk tegak. Bermata sipit. Berkulit gelap. Tampilannya sedikit necis dengan setelan kantoran, meskipun ujung kemejanya sedikit keluar. Tingginya sekitar 158 cm. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran pria seusianya. Ia duduk disebelah klinik. Tepat disamping kanan rumah tersebut.
”Hmm, mas, klinik mana yah?” pemuda itu bertanya.
”Ini klinik!” Sambil menunjuk klinik Dr IO tersebut.
”Buat ngelunturin yah mas?” sambung si pemuda.
”Iya, bentar yah, Pet! Sini Pet!” ia berteriak ke arah tukang ojek yang sedang mengobrol. Tak lama kemudian, datang seorang pria lainnya. Berkemeja biru lengan panjang yang dipadukan dengan celana kain berwarna hitam. Matanya besar. Wajahnya oval. Suaranya ramah seperti suara salesman yang mempromosikan barang dagangannya.
”Udah berapa bulan?” tanyanya tanpa basa-basi.
”3 bulan,” kali ini perempuan muda itu yang menjawab.
”Tahu dari mana udah 3 bulan, udah sempet di USG?”
”Udah nggak dapet 3 bulan. Jadi pake test pack aja.”
”Positif?”
”Iya.”
”Sekarang masuk kita langsung USG dulu aja deh. Biar bisa ditangani langsung ma dokternya,” kata si pria yang bernama Peter itu kepada sepasang anak muda tersebut.
”Nggak bisa sekarang mas. Kita cuman nanya-nanya harga dulu. Soalnya takut nggak cukup,” si perempuan muda berusaha menghindar. Terdengar nada getir dalam ucapannya.
”Gini yah mas, mbak, kalo soal harga yang nentuin itu dokternya. Kita cuman bantuin aja kok.”
”Ngerti sih mas, cuman kalo kita masuk sekarang juga nggak ada duitnya mas.”
Setelah berdialog dan saling bertukar nomor handphone, percakapan menjadi semakin santai dan ia mengajak sepasang anak muda itu duduk. Dengan enggan mereka duduk di trotoar jalan.
Ia mulai bercerita kehebatan Dr IO. Ia menambahkan bahwa Dokter IO sudah berpraktek sejak tahun 1993. Sehari minimal 10 pasien yang datang ke klinik tersebut. Bahkan pasiennya bukan dari Jakarta saja melainkan juga dari luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan dan Lampung.
Harga yang dikenakan bagi pasien beragam sesuai dengan usia kandungan. Seperti satu setengah bulan dihargai sekitar 1,5 juta hingga 2 juta rupiah. Jika usia kandungan sekitar 3 bulan, bisa mencapai 3 juta hingga 3,5 juta rupiah. Semakin lama usia kandungan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien.
”Sekarang mas punya berapa, nanti saya bantu tawar ke dokternya,” tawarnya.
”2 juta.”
”Kalo udah 3 bulan, nggak bisa 2 juta. Paling sedikit juga 2,5 juta. Itu udah termasuk biaya pendaftaran sama obat. Biaya pendaftaran 200 ribu, USG 30 ribu.”
Mendengar itu, sepasang anak muda itu mengurungkan niatnya dengan alasan keterbatasan biaya. Tak lupa mereka berjanji untuk menghubungi pria bernama Peter itu jika diperlukan.
”Mbak, Mas, yang penting secepatnya, jika semakin besar akan semakin susah. Biayanya juga mahal. Saran saya harus dilakukan minggu ini juga,” lanjut Peter mengakhiri percakapan.
Tak lama, sepasang anak muda itu meninggalkan klinik tersebut. Namun, mereka belum bisa bernapas lega. Selang beberapa menit, sebuah motor menghampiri dan terdengar suara yang menyapa.
”Mas, dikasi berapa sama si Peter?” si pengendara motor yang diketahui bernama Rendy bertanya.
”2,5 juta,” jawab pemuda tadi.
”Udah berapa bulan Mbak?” pertanyaan Rendy kini ditujukan kepada perempuan muda itu.
”3 bulan.”
”Wah, mahal itu! Saya berani kasih 2 juta. Ayo! Saya antar. Dokternya udah ahli kok, tenang aja. Dijamin aman.”
”Jangan sekarang mas. Belom ada dana, trus belom ada kesiapan juga mas.”
Rendy kemudian mematikan mesin motor dan meminggirkannya. Kulitnya sawo matang. Rambutnya gelap. Sedikit acak-acakan. Ia mengenakan sweater lengan panjang berwarna coklat. Dipadukan dengan celana berwarna hitam. Kemudian ia berceloteh ria kepada kami tentang kehebatan Dokter Sarman yang berpraktek di Salemba.
”Kalo ama dokter S udah pasti bisa Mbak. Tenang aja, yang penting mbak pit (red: fit), nggak banyak pikiran, nggak pusing. Dijamin 5 menit udah keluar. Suaminya juga boleh nemenin kok,” lanjutnya berpromosi.
”Hm, pernah ada kasus nggak di dokter S?” si perempuan muda ini berniat menanyakan keselamatan jika ditangani oleh dokter tersebut. Namun, pertanyaan ini ditanggapi berbeda.
”Tenang aja Mbak, nggak ada kasus kok. Kita kan backingan-nya mabes mbak. Jadi tenang aja.”
”Dokter S ini udah praktek berapa lama yah?” perempuan muda ini berupaya menggali lebih dalam.
”Udah 7 taon mbak. Udah banyak yang berhasil mbak, yang penting mbak nggak minum obat peluntur dulu. Mbak agak hangat yah. Mikirin orang tua yah. Santai aja mbak. 5 menit juga selesai. Nggak terasa apa-apa. Mbak sekarang makan dulu, kita tungguin tar kita antarin deh.”
”Jangan sekarang mas. Belom siap. Nanti aja deh kalo jadi kita hubungin mas aja.”
”Jangan bilang-bilang sama si Peter yah. Nggak enak kitanya.”
”Iya.”
Mengejutkan. Itulah respon yang dapat disimpulkan setelah mengetahui betapa mudahnya sebuah praktik aborsi illegal dilakukan sekarang ini. Bahkan ketika praktik itu hendak dijalani oleh sepasang anak muda yang tidak terikat dalam pernikahan, seperti yang diperankan oleh dua orang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta dalam upaya menggali eksistensi praktik aborsi illegal di Jakarta.
Aborsi atau dalam istilah Latin disebut abortus, secara umum dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah abortus natural atau aborsi yang terjadi secara alami. Sementara kategori yang kedua adalah abortus provocatus (buatan) yang kemudian terbagi lagi menjadi dua jenis, abortus provocatus criminalis dan abortus provocatus medicinalis.
Kategori yang pertama adalah jenis yang dilarang oleh Departemen Kesehatan sehingga diartikan sebagai kejahatan. Sementara kategori yang kedua disitilahkan oleh Departemen Kesehatan sebagai tindakan medis tertentu, yang dilakukan demi keselamatan bayi atau ibu yang mengandung.
Di Indonesia sendiri, praktik aborsi secara medis berawal di akhir tahun 1970-an dan sebenarnya diberlakukan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai jalan keluar bagi pengguna program Keluarga Berencana(KB) yang gagal. Saat itu dibangunlah Klinik Raden Saleh untuk melayani kebutuhan tersebut. Kala itu, metode yang dilakukan adalah metode induksi haid, dimana para dokter memaksa para perempuan yang sedang hamil untuk datang bulan. Disitulah kemudian janin-janin muda yang lolos KB dirontokkan dengan label aborsi resmi.
Terkait praktik tersebut, maka pemerintah menetapkan peraturan-peraturan bagi mereka yang hendak melakukan aborsi. Antara lain, sudah menikah (dibuktikan dengan membawa akta perkawinan); datang ke klinik harus dengan suami yang bersangkutan; kegagalan kontrasepsi yang digunakan si ibu memang memiliki resiko tinggi; dan disertai alasan kondisi sosial-ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, beberapa persyaratan lainnya meliputi kehamilan untuk keempat kalinya; terlambat menstruasi baru berjalan delapan minggu; harus mau melakukan “KB mantap” (vasektomi untuk ayah, dan tubektomi untuk ibu); dan mau menandatangani surat permohonan aborsi.
Namun, sulitnya proses yang harus dijalani membuat banyak orang atau pasien yang hendak menggugurkan kandungannya mencari cara yang lebih mudah. Selain itu, ternyata permintaan untuk melunturkan bayi tidak hanya datang dari pasangan yang gagal dalam KB. Banyak pula pasangan anak muda yang tidak menikah juga datang untuk menutupi kehamilan akibat hubungan bebas di luar nikah.
Bak gayung bersambut, tarif sebuah tindakan aborsi yang besarannya cukup menggiurkan ternyata dimanfaatkan oleh sebagian kalangan medis untuk mendapatkan keuntungan. Akhirnya banyak praktik aborsi legal yang bermunculan di luar klinik Raden Saleh dan praktik aborsi illegal makin berkembang menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan.
Pada awalnya, hanya terdapat satu-dua klinik gelap yang ada di Jalan Cimandiri dan Jalan Ciliman, yang tidak jauh dari Jalan Raden Saleh. Lambat laun, praktik illegal ini menyebar ke Jalan Cisadane, Jalan Kramat, dan Jalan Paseban di wilayah Jakarta Pusat dan Timur.
Dalam perkembangannya, bisnis aborsi tak lagi hanya sekedar bisnis yang berdiri sendiri-sendiri. Untuk melapangkan kelangsungan usahanya, maka praktik aborsi berkembang menjadi sebuah sindikat.
Menurut Adrianus Meliala, suatu jaringan kejahatan dapat dikatakan sebagai sindikat seandainya setiap anggota jaringan sudah memiliki peran yang jelas. Dalam kasus aborsi, sindikat terbentuk ketika ada yang berlaku sebagai calo untuk menjaring korban, ada pihak penyeleksi, lalu ada dokter atau bidan yang akan mengaborsi janin tersebut, dan juga ada mereka yang berperan untuk membuang janin.
“Jaringan itu biasanya bekerja secara terpisah-pisah. Hal ini untuk pengamanan, dimana ketika ada anggota yang tertangkap, jaringannya bisa segera diputus,” lanjut kriminolog yang juga Guru Besar di Universitas Indonesia tersebut.
Namun, itu saja sepertinya tidak akan mampu menjaga bisnis ini dapat tetap awet hingga saat ini, mengingat kasus aborsi ilegal bukanlah kasus yang baru terjadi akhir-akhir ini. Tercatat sejak medio 1990-an sudah banyak praktik aborsi illegal yang dibongkar. Dan kasus besar yang terakhir mencuat adalah praktik aborsi di Johar Baru yang dibongkar oleh Kapolsek Johar Baru, Theresia Mastail, setahun silam.
Nyatanya, pembongkaran besar-besaran terhadap kasus itupun tidak berdampak apa-apa terhadap bisnis aborsi ilegal. Calo masih bebas menjaring pasien, pasangan anak muda masih mudah mencari tempat untuk menghilangkan bukti pergaulan bebas mereka, dan dokter-dokter tetap bersih di balik setelan putih mereka meski sudah tak terhitung lagi nyawa bayi yang berakhir di tangan mereka.
Kini, semua memang tergantung kepada aparat penegak hukum. Sepak terjang merekalah yang nantinya menjadi bukti, apakah mereka benar-benar melindungi masyarakat dari tindakan tidak bermoral tersebut, atau sebaliknya mereka ternyata melindungi para pelaku praktik aborsi seperti yang dikemukakan oleh calo di Jalan Raden Saleh tadi.
bagi info dr sarman krg lengkap,
ReplyDelete