Skip to main content

Hak Cipta Sebuah Karya Foto Jurnalistik


" tulisan ini merupakan bagian dari tugas kelompok perkuliahan dan dipublikasikan dengan tujuan berbagi dan untuk kepentingan akademis semata. "
ilustrasi
  
Pengantar
Sebuah karya foto, khususnya foto jurnalistik adalah bagian penting dalam pemberitaan suatu informasi oleh media massa. Sebagai bagian dari berita itu sendiri, foto jurnalistik memegang peranan untuk menyempurnakan informasi yang hendak disiarkan kepada khalayak luas. Dikatakan demikian karena kadangkala khalayak kesulitan dalam memahami berita sebab mereka tidak memiliki suatu bayangan khusus akan apa yang diberitakan, sehingga dalam hal inilah foto jurnalistik dapat menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat tersebut.
Foto Jurnalistik adalah sebuah karya foto yang mengandung nilai berita di dalamnya dan berguna bagi masyarakat banyak. Sebagai sebuah karya, maka foto jurnalistik yang merupakan hasil olah pikir dari manusia cenderung menjadi hak bagi seorang pewarta foto.
Namun, perlu juga dipahami bahwa kadangkala sebuah karya foto merupakan hasil koordinasi antara beberapa orang. Seperti redaktur yang memberi penugasan, lalu sang pwarta foto itu sendiri, dan juga editor yang bertugas memilah foto-foto terbaik untuk naik cetak. Sehingga, karena banyaknya pihak yang terlibat, maka pemegang hak cipta biasanya ditentukan pada perjanjian kerja ketika seorang pewara foto bergabung dengan perusahaan media massa. Adapun bila tidak tercantum, maka hak akan dimiliki oleh sang pewarta foto yang menjadi ’pencipta’ dari foto tersebut.
Berikut di bawah ini beberapa dasar hukum dari penjelasan di atas yang berkaitan dengan pemegang Hak Cipta:

UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta
Pasal 6:
·           Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas bagian ciptaannya.


Pasal 7:
·           Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu.

Pasal 8:
·           ayat (3) : Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak.

Namun, terkait dengan pentingnya peran foto jurnalistik dalam suatu pemberitaan, maka foto kerapkali menghadirkan permasalahan sehubungan dengan hak kepemilikan dari foto tersebut. Biasanya pihak yang bertikai adalah pewarta foto dengan media tempat ia bekerja, walau tidak menutup kemungkinan antara seorang pewarta foto lepas dengan sebuah media.
Jika ditarik garis lebih jauh, pangkal permasalahan itu kemungkinan besar adalah mengenai keuntungan, biasanya dalam bentuk materiil, yang akan diperoleh oleh pihak yang memiliki hak atas foto tersebut. Sebab, tatkala foto itu diterbitkan, maka secara otomatis pihak yang memegang hak pastilah menerima imbalan, dalam bentuk uang, atas pencantuman tersebut.
Berikut dibawah ini, kami menghadirkan sebuah perselisihan yang diakibatkan masalah hak kepemilikan atas sebuah karya foto jurnalistik, sebelum selanjutnya kami berusaha membahas dari segi hukum yang ada di Indonesia.

Studi Kasus: Perselisihan Umar Widodo dan Majalah Detektif Romantika

Medio 1990-an, Umar Widodo, sekarang (pada waktu makalah ini disusun) wartawan foto senior di Harian Warta Kota, adalah salah seorang mahasiswa yang menuntut ilmu di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Duduk di tahun-tahun terakhir studinya, Umar diwajibkan untuk mengadakan pameran foto sebagai syarat meraih titel sarjananya. Oleh karena itu, Umar menyelenggarakan pameran yang mengangkat tema terkait profil seorang tokoh masyarakat. Tampil sebagai tokoh utama adalah Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta yang memimpin sekitar tahun 1970-an. Demi mendapatkan foto-foto tersebut, maka Umar mengikuti berbagai perjalanan yang dilakukan oleh Bang Ali selama beberapa bulan.

Sebagai penyelenggara pameran yang pertama kali mengangkat tema profil tokoh masyarakat, Umar mendapatkan sambutan yang cukup hangat. Sambutan tersebut tak hanya nampak dari  jumlah orang yang menyaksikan pameran tersebut, namun juga dari apresiasi masyarakat selepas pameran itu berakhir.

Salah satu apresiasi itu datang dari majalah Detektif Romantika atau DR yang diwakili oleh salah seorang redakturnya yang merupakan teman dari Umar. Majalah DR meminta kepada Umai, panggilan akrab Umar Widodo agar salah satu foto Ali Sadikin yang digunakannya di dalam pameran, diperbolehkan untuk dipakai sebagai cover majalah DR. Saat itu gambar yang diinginkan adalah potret Bang  Ali yang sedang duduk melamun, dimana kedua telapak tangannya terkatup dan menyokong dagunya.
Tak lama, kesepakatan antara Umai dengan majalah DR terjadi. Sehingga majalah DR kemudian memanfaatkan foto Umai sebagai halaman muka majalahnya. Dikarenakan menganggap redaktur majalah tersebut sebagai teman baiknya, Umai tidak terpikir untuk membuat suatu perjanjian hitam di atas putih yang sebenarnya teramat penting sebagai bukti transaksi yang telah dilakukan oleh mereka. Hal yang  tanpa disadari oleh Umai dapat menjadi permasalahan di kemudian hari.
Selepas pemakaian tersebut, majalah DR membuat sebuah promo majalah dan karena merasa telah mendapatkan ijin, maka mereka kembali menggunakan cover yang menampilkan Bang Ali karya Umai. Kali ini sebagai ikon promosi majalah tersebut. Dimana gambar tersebut juga terpasang pada kaos, mug, payung dan atribut-atribut promosi lainnya yang disebarkan oleh majalah DR.
Ternyata, pemakaian tersebut tidak diinformasikan lagi kepada Umai. Merasa dirugikan namun tetap memikirkan solidaritas antar pekerja media, Umai kemudian menghubungi teman yang menjadi redaktur di majalah tersebut. Hanya saja, protesny tidak digubris. Melihat tidak adan respon dari pihak DR, Umai melakukan somasi dan mempertanyakan pemakaian yang tanpa seijinnya tersebut.
Akhirnya, setelah melewati pembicaraan-pembicaraan dan mempertimbangkan beberapa hal Umai mengalah. Dengan diiringi sedikit kekecewaan, Umai bersedia menerima ”uang kompensasi” dari majalah DR atas pemakaian fotonya, walau sebenarnya bukan nominal yang dicari oleh Umai, melainkan haknya sebagai seorang pewarta foto.

Pembahasan

Pengalaman yang dimiliki oleh Umar Widodo memang terjadi lebih dari satu dekade yang lalu. Namun, jika kejadian tersebut ditarik ke masa kini, maka kasusnya adalah contoh sempurna bagaimana pelanggaran terhadap hak cipta atas sebuah karya foto jurnalistik terjadi. Oleh karena itu, kami akan mencoba mengupas kasus Umar dari sudut pandang hukum saat ini, dengan mengandaikan bahwa kasus tersebut terjadi selepas dikeluarkannya UU Pers dan UU Hak Cipta.
Berangkat dari pengandaian tersebut maka dalam kasus Umar Widodo, tindakan majalah DR memanfaatkan karya Umar adalah pelanggaran terhadap ”Hak Eksklusif” yang dimiliki seorang pencipta, dalam hal ini Umar, seperti yang tertera dalam UU No. 19/2002 pasal 1 ayat 1 serta pasal 2 ayat 1.

UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta
Pasal 1:
·           Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 2:
·           Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Berdasarkan kedua ayat tersebut, jelaslah bahwa hak atas foto tersebut adalah milik Umar, selaku pencipta atau pihak yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan dalam bentuk sebuah karya foto. Sehingga tindakan majalah DR yang memanfaatkan karya tersebut tanpa izin Umar dan didasarkan pada tujuan demi memperoleh keuntungan adalah sebuah pelanggaran.
Selain itu, DR juga tidak memenuhi hak dari Umar selaku pemegang hak cipta. Padahal, berdasarkan hukum yang ada, terdapat sedikitnya dua hak yang harus dipenuhi oleh pihak yang memanfaatkan suatu karya terhadap pihak yang menjadi pencipta atau pemegang hak cipta. Kedua hak itu adalah hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral adalah kewajiban pada siapa pun yang menggunakan karya kita untuk mencantumkan nama kita selaku pencipta setiap kali menggunakan karya ciptaan itu. Dimana, dalam foto jurnalistik aplikasi hak moral ini ditemukan dalam bentuk pencantuman kredit titel fotografer termasuk kode elektronik yang dibuat oleh si fotografer, bersamaan dengan penggunaan fotonya.
Sehubungan dengan hak moral ini, pasal 24 Undang-undang Hak Cipta menyatakan bahwa pencantuman nama dari sang pencipta tidak boleh digantikan oleh siapapun, baik dengan kode maupun nama orang lain. Hak ini adalah hak yang tetap melekat sepanjang masa, walaupun Hak Cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Hak lain yang perlu dipenuhi adalah hak ekonomi. Dimana yang dimaksud hak ekonomi adalah hak untuk melakukan eksploitasi demi mendapatkan manfaat ekonomi atas karya ciptaan serta produk terkait ciptaan itu.
Berbeda dengan hak moral yang berlaku sepanjang masa, bahkan selepas penciptanya meninggal, hak ekonomi memiliki sifat dapat dialihkan kepada orang atau badan hukum lain sesuai dengan perintah pemegang hak cipta. Sebagai contoh, jika seorang fotografer yang menjadi pemegang hak cipta meninggal, maka penguasaan atas hak ekonomi karya ciptaannya akan dialihkan kepada ahli waris dari yang bersangkutan.
Berangkat dari penjelasan mengenai hak-hak tersebut dan berdasarkan hasil wawancara, maka kami menemukan bahwa majalah DR tidak memenuhi kedua hak yang seharusnya diterima oleh Umar. Terkait dengan hak moral, maka pada atribut promosi yang ada, tidak tercantum suatu keterangan bahwa gambar yang digunakan adalah karya dari Umar Widodo. Dan terkait dengan hak ekonomi, secara pasti dan jelas Umar tidak dibayar se-sen pun karena majalah DR menganggap bahwa mereka telah mendapat izin melalui pernyataan lisan dari salah satu redakturnya dengan Umar. Walaupun pada akhirnya DR memberikan ‘kompensasi’ yang jauh dari pantas berbanding keuntungan yang diperoleh melalui pemakaian karya Umar.
Berdasarkan contoh kasus yang coba kami hadirkan dan penjelasan sederhana di atas, kami berpendapat bahwa permasalahan ini diawali oleh kekurangpahaman antara kedua pihak yang terlibat sehubungan dengan perjanjian atas karya foto. Umar, sebagai pemilik hak utama menganggap mudah perjanjian sehingga tidak membuat perincian akan hak dari peminjam fotonya sehingga ia kecolongan dan baru merasa dirugikan pada saat yang sudah terlambat. Di pihak lain, majalah DR terkesan ’memanfaatkan’ kelemahan  perjanjian yang dibuat untuk bisa mendapatkan keuntungan. Dimana, pihak DR juga nampak tidak menghargai, setidaknya hak moral yang seharusnya dimiliki oleh Umar.

Kesimpulan
Foto, sebagai suatu medium untuk menyimpan informasi visual merupakan informasi yang dalam pembuatannya, pengumumannya, dan/atau pendistribusiannya harus memperhatikan hukum yang berlaku. Hal ini penting agar konten informasinya tidak bersifat melawan hukum, dan di sisi lain konten tersebut dapat pula dilindungi sebagai karya intelektual.
Di dalam pengumuman dari sebuah karya foto, maka perlu diperhatikan hak moral dan hak ekonomis sesuai dengan UU Hak Cipta. Masuk dalam lingkup hak moral adalah pencantuman nama fotografer dan menjaga keutuhan ciptaan. Ada pula perlindungan hak ekonomis, dimana fotografer dapat mengontrol penggunaan dari karyanya serta adanya hak untuk meminta tanggung jawab pihak-pihak yang membuat karyanya dapat diakses publik.
Selain itu, terkait poin yang mengharuskan setiap karya memperhatikan aspek hukum, maka dalam pasal 17 UU Hak Cipta dapat dijumpai juga larangan terhadap konten yang bertentangan dengan kebijaksanaan negara di bdiang agama, pertahanan dan keamanan, kesusilaan serta ketertiban umum.
Akhir kata, sistem perlindungan Hak Cipta yang baik akan melandasi pengakuan hukum dan jaminan pemenuhan hak-hak peningkatan warga negara atas kreasinya. Sehingga di sisi lain akan mendorong pertumbuhan kreativitas warga negara dalam berkreasi baik itu dalam bidang seni, teknologi, ilmu pengetahuan, dan juga termasuk di dalamnya foto jurnalistik, yang tentu saja tidak diikuti rasa takut bahwa hasil olah pikir mereka akan dibajak atau disalahgunakan.

Sumber:
Wawancara dengan Umar Widodo
UU Hak Cipta
UU Pers
Berbagai Sumber

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...