Jangan Sampai Salah Memilih
Siapa yang mengaku pelajar di negeri ini, namun tidak mengenal sosok Arief Rachman Hakim ataupun Soe Hok Gie?
Membaca buku sejarah di sekolah tingkat menengah, kita pasti menemukan nama Arief Rachman Hakim. Hidup di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, Arief bukanlah tokoh penting yang berperan di pemerintahan. Ia boleh dikatakan tidak lebih dari seorang mahasiswa biasa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namun, integritasnya dalam menyatakan aspirasi rakyat banyak, yang dilakukan dengan partisipasinya pada demonstrasi besar di tahun 1966, turut mengambil peran dalam mengubah haluan sejarah bangsa ini. Bahkan, ia sendiri menjadi korban tewas akibat penembakan pada aksi protes tersebut. Dan terbukti, tak lama setelah kematiannya, pemerintahan Soekarno jatuh dan Indonesia memasuki era pemerintahan yang baru.
Dalam periode yang berdekatan, kita mengenal pula Soe Hok Gie. Terlebih setelah beberapa tahun silam, sutradara ternama Riri Riza mengangkat kisahnya ke layar lebar melalui film Gie. Seperti yang tertulis dalam catatan hariannya, Hok Gie adalah seorang mahasiswa pada Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. Tetapi, impiannya akan Indonesia yang adil, telah mendorongnya terjun ke dalam berbagai pergerakan demi terwujudnya keadilan dan kebenaran yang murni. Tak hanya itu saja, selepas Orde Lama runtuh, integritasnya terpelihara baik dan ia tetap bersikap kritis terhadap kebijakan yang tidak pro kepada rakyat. Sehingga, ketika ia meninggal waktu mendaki gunung Semeru di tahun 1969, namanya terangkat untuk dikenang dan dijadikan panutan bagi generasi penerus.
Kedua orang diatas memang bukan mantan presiden yang berjasa menghantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Mereka juga bukan mantan penguasa yang memimpin bangsa ini lebih dari tiga dekade lamanya. Mereka bukan pula mantan menteri, atau wakil rakyat di DPR. Mereka sama seperti kita semua. Mereka adalah mahasiswa. Namun, mereka bukanlah mahasiswa yang menjalani hidup kemahasiswaannya hanya sekadar lalu. Sebaliknya, mereka paham betul apa peran mereka sebagai bagian dari suatu golongan masyarakat yang mungkin tidak mencapai besaran 10% di republik ini. Berangkat dari pemahaman itulah, saat ini kita dapat mengenal sumbangsih mereka bagi kemajuan bangsa ini. Sehingga mereka dikenal dan dikenang oleh orang banyak.
Sebagai mahasiswa di masa kini, seharusnya kita belajar dari teladan mereka. Memang zaman kita berbeda dengan zaman saat itu. Kita tidak lagi hidup di era negara yang otoriter dan kita memiliki kebebasan yang tidak mereka miliki saat itu. Tetapi, kita harus ingat, setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing. Dan tantangan saat ini, ditujukan kepada segenap diri pemuda dan pemudi yang mengaku sebagai mahasiswa. Tidak terkecuali mahasiswa UMN.
Karena itu, layaknya sosok Arief dan Hok Gie, penting bagi segenap mahasiswa UMN untuk memiliki integritas dalam menjalani studinya. Sebenarnya hal itu tidaklah terlampau sulit dilakukan, mengingat UMN telah berdiri di atas pondasi yang benar. Mengutip paparan Jakob Oetama selaku sosok yang membidani lahirnya UMN, maka kita akan mengerti apa yang menjadi dasar filosofi pendirian UMN ini. UMN merupakan wadah untuk mendidik, menyiapkan generasi muda yang bukan saja terampil menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga berkarakter baik untuk membangun dan mengangkat harkat dan martabat manusia serta bangsa. Namun, untuk mewujudkannya, tidak cukup hanya mengandalkan filosofi yang dimiliki para pendiri. Adalah peran mahasiswa UMN sendiri yang menentukan kualitas dari institusi ini.
Dalam segi yang paling sederhana, peran itu bisa ditunjukkan dalam menjalani aktivitas perkuliahan sehari-hari. Dengan menyelesaikan tugas tepat pada waktunya, maka akan terbangun satu pribadi yang tidak menunda-nunda pekerjaan. Sebab bangsa ini telah memiliki banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dan dibutuhkan figur-figur yang tepat untuk menyelesaikan setiap masalah pada bidangnya masing-masing.
Selain itu integritas dapat terwujud nyata dalam prilaku waktu menghadapi ujian. Tidak menyontek saat ujian memang terlihat sepele. Namun, hal itu adalah sikap awal yang baik jika di masa depan kita ingin menghilangkan korupsi dari negeri ini. Sebab, walaupun kita setiap hari berdemo di jalanan menentang korupsi, namun, jika kita tetap menyontek kala menghadapi ujian, maka sesungguhnya kita bukanlah calon pemimpin bangsa yang baik. Kuncinya adalah setia dan jujur di dalam perkara-perkara sederhana, sehingga integritas kita akan teruji apakah mampu untuk setia dalam perkara-perkara besar, seperti saat berhadapan dengan uang milik negara. Sebab harus dipahami, orang yang bersih dan jujur bukanlah ditemukan layaknya kuda liar, melainkan harus dididik dan dikembangkan melalui suatu sistem yang baik, sehingga dapat menstimulir prilaku bersih dan jujur tersebut.
Integritas lainnya yang juga harus ditumbuhkembangkan adalah sikap yang menerima pluralisme atau keberagaman di antara segenap anak bangsa. Sebab ada begitu banyak suku bangsa dengan berbagai budaya dan keberagaman yang tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Sehingga hanya melalui sikap yang menerima dan menghargai satu dengan yang lain itulah, bangsa ini bisa terhindar dari perpecahan. Terkait hal ini, UMN sebenarnya telah berada di jalur terdepan dalam mempersiapkan para mahasiswanya. Mengenalkan multikulturalisme dalam sistem pendidikannya, UMN turut menjadi pelopor untuk menghargai keberagaman yang ada. Namun, sekali lagi, untuk mewujudkannya dibutuhkan sosok-sosok mahasiswa yang mau menerapkan semua teori itu ke dalam aplikasi nyata di kesehariannya.
Hal lain yang juga perlu dipersiapkan dalam rangka memberikan sumbangsih nyata bagi negara ini adalah jiwa-jiwa yang tidak hanya pintar berteori, namun juga mampu hidup dan berkarya dalam suatu organisasi di tengah masyarakat. Sebab, sudah terlampau banyak orang pintar di Indonesia, setidaknya untuk memimpin negeri ini, namun, kebanyakan hanya dapat bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak memberikan kebaikan bagi masyarakat luas. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan membiasakan diri bergabung dalam suatu organisasi, baik itu politik, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Organisasi merupakan sarana yang paling tepat dalam mempersiapkan mentalitas kepemimpinan mahasiswa yang nantinya akan menjadi penopang budaya kepemimpinan nasional yang saat ini masih morat-marit.
Berkaitan dengan hal ini, sekali lagi UMN telah menyediakan wadah. Adanya BEM sebagai lembaga perwakilan tertinggi mahasiswa, dapat mendidik kita terbiasa dalam lingkungan politik. Selain itu adanya organisasi bisnis dapat mempersiapkan kita untuk terjun langsung dalam perekonomia masyarakat. Kehidupan sosial juga dapat dipupuk dengan bergabung dalam organisasi Rencang yang memang fokus dalam tindakan-tindakan sosial.
Oleh karena itu, menyikapi semua yang telah mendasari keberadaan UMN, kita harus kembali ke dalam diri kita sendiri, sebagai mahasiswa. Memang UMN telah menjadi kawah candra dimuka bagi kita, para intelektual muda yang nanti akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa. Namun, sikap kita sedari mudalah yang akan menentukan kemana bangsa yang cerdas dan berwibawa ini akan dilabuhkan.
Sesungguhnya Arief dan Hok Gie telah menentukan perannya, dan terbukti, mereka tidak salah memilih. Sekarang, adalah saat bagi kita, jangan sampai kita salah memilih.
Comments
Post a Comment