Skip to main content

Jurnalisme (Bag. I)

Sumber : Google


Apakah yang terlintas di dalam benak kita sewaktu mendengar kata jurnalisme? Mungkin kita teringat akan berita di koran yang kita baca setiap hari, atau membayangkan profesi wartawan yang mengejar narasumber seperti yang acapkali terlihat di media televisi dewasa ini. Namun jika kita meneliti secara mendalam, maka gambaran mengenai jurnalisme yang kita sering temui saat ini akan tampak jauh berbeda dengan bagaimana jurnalisme itu sendiri tercipta.
Menurut sejarahwan Mitchell Stephens, berita tercipta karena naluri manusia, yaitu naluri kesadaran. Dimana mereka membutuhkan pengetahuan tentang sesuatu untuk dapat memberikan mereka rasa aman, sehingga membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Selanjutnya, proses saling tukar informasi ini menjadi dasar untuk menciptakan komunitas, yang membuat ikatan antar manusia. Selain itu, sejarah juga mengungkap hal lain, yaitu makin demokratis sebuah masyarakat, makin banyak berita dan informasi yang didapat.
Contoh dari gerakan demokratis yang timbul saat itu dapat ditemui sekitar 400 tahun yang lalu, saat berita-berita disampaikan melalui nyanyian–nyanyian lagu maupun cerita serta balada yang disenandungkan oleh para pengamen keliling. 
Sedangkan apa yang kita anggap sebagai jurnalisme modern, diawali bukan dengan pendirian perusahaan koran besar. Sebaliknya, sejarah tersebut dimulai dengan perbincangan sederhana dan ringan di dalam kafe mengenai pengalaman para pengelana yang singgah di kafe tersebut. Untuk kemudian catatan itu dibukukan oleh para pemilik kafe selaku tuan rumah perbincangan tersebut. Pada masa itu, surat kabar pertama juga muncul dari kafe-kafe seperti ini sekitar tahun 1609. Dimana percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip dan argumen politik dari kafe serta mencetaknya di atas kertas untuk memudahkan orang banyak dalam membacanya. Dalam perkembangannya di awal abad ke-18, suratkabar tidak lagi hanya menyampaikan berita yang datang dari perbincangan di dalam kafe saja, tapi juga memunculkan sebuah fenomena baru yang dikenal dengan opini publik yang menjadi asal mula teori kebebasan berbicara atau pers bebas. Hal lain yang patut kita pahami mengenai pers di awal berdirinya jurnalisme adalah keterkaitan yang amat kuat antara pers pada masa tersebut dengan masyarakat atau komunitas. Dimana berita berasal dari komunitas dan diterbitkan untuk komunitas. Sehingga akan tampak mustahil untuk memisahkan keberadaan pers dari komunitas, terlebih lagi dari komunitas yang bersifat demokratis.
“Kemustahilan” tersebut dapat timbul karena adanya beberapa pemahaman yang menyertai perkembangan jurnalisme itu sendiri. Seperti pemahaman bahwa jurnalisme hadir untuk membangun masyarakat, jurnalisme ada untuk memenuhi hak warga negara, serta jurnalisme ada untuk demokrasi. Selain itu, disebutkan pula bahwa jurnalisme menjadikan jutaan rakyat dapat terlibat langsung dalam menciptakan pemerintahan dan peraturan karena adanya arus informasi yang lebih bebas. Namun, dari pemahaman tersebut muncul pertanyaan, apakah pemahaman yang telah disebut di atas hanyalah menjadi pemahaman yang bersifat sementara karena suatu momentum tertentu, atau telah menjadi pemahaman yang dapat diterima secara menyeluruh. Pertanyaan akan jurnalisme itu juga didukung dengan situasi perkembangan jurnalisme di Amerika Serikat sekitar setengah abad terakhir ini, dimana jurnalisme telah tereduksi menjadi sebatas tautologi yang menyederhanakan jurnalisme hanyalah apa yang disampaikan oleh  wartawan.
Setelah beberapa waktu, berdasarkan penelitian oleh Bill Kovach serta Tom Rosenstiel, maka didapati bahwa jurnalisme tidaklah sebatas apa yang disampaikan oleh wartawan seperti yang ditulis di atas. Hal ini karena jurnalisme memiliki tujuan yang jelas, yaitu untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur diri sendiri. Pernyataan akan tujuan ini diperkuat lagi melalui kata-kata Jack Fuller, penulis, novelis, pengacara dan presiden Tribune Publishing Company yang menerbitkan harian Chicago Tribunes . Ia menyatakan bahwa tujuan utama jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran sehingga orang-orang akan mempunyai informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat.
Dalam perkembangannya di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, maka jurnalisme, khususnya pemahaman akan pers bebas, juga mengalami beberapa perubahan yang cukup signifikan. Perubahan ini salah satunya ditandai dengan perbedaan pandangan diantara pelaku pers bebas akan nilai suatu berita. Selain itu, secara fisik dapat dilihat dari maraknya pembangunan infrastruktur yang mendukung kemajuan arus informasi. Hanya saja, yang perlu dicatat adalah bahwa munculnya internet serta sarana komunikasi yang lebih maju, tidak menyebabkan konsep penerapan berita---yang tak lain adalah upaya untuk memutuskan apa yang diperlukan publik untuk mengatur diri mereka sendiri---manjadi usang. Karena, kemajuan teknologi yang terjadi ini, hanyalah berkaitan dengan semakin besar kebutuhan akan konsumsi informasi atau berita.
Pendapat lain mengenai kemajuan teknologi dipaparkan oleh John Seeley Brown, mantan direktur Xerox PARC, think tank legendaris di Lembah Silikon, California. Ia menyarankan agar perkembangan teknologi tidak dilihat sebagai sesuatu yang mengubah pemahaman akan jurnalisme, yang kelak  mengarah kepada perdebatan. Tetapi lebih memfokuskan perhatian bahwa perubahan yang dihasilkan hanya sebatas bagaimana wartawan mengubah cara yang dilakukannya demi memenuhi fungsi yang telah ada sejak semula.
Selain itu, Seeley Brown juga menyatakan bahwa kita sedang bergerak menuju kepada jurnalisme dua arah. Dimana konsumen yang selama ini hanya menerima hasil yang diberikan oleh wartawan, mulai berbalik menjadi prokonsumen dan mulai menghasilkan berita seperti seorang reporter.
Perkembangan lain dari jurnalisme akibat perkembangan teknologi ini adalah jurnalisme yang menyerupai percakapan, seperti apa yang disajikan oleh jurnalisme pertama yang berlangsung di kedai minum 400 tahun yang lalu.
Dari contoh yang jelas ini, terlihat bahwa fungsi jurnalisme tidak berubah secara mendasar meski kita telah masuk era digital. Teknik yang digunakan mungkin berlainan tapi prinsip-prinsip yang menggarisbawahinya tetap sama. Dalam hal ini, tugas wartawan pada era baru adalah memverifikasi apakah informasinya bisa dipercaya, lantas meruntutkannya sehingga warga bisa memahaminya secara efisien.

Teori

Di dalam penerapan jurnalisme, terdapat 2 macam teori yang menyertainya. Yang pertama adalah Teori Demokrasi Wartawan dan Teori Keterkaitan Publik.
Teori demokrasi wartawan menekankan kepada demokrasi itu sendiri, yang lebih berhubungan dengan proses atau cara dan bukan mengenai hasil akhir yang dicapai oleh demokrasi tersebut. Sehingga dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tujuan sejati dari demokrasi itu adalah kebebasan manusia.
Teori selanjutnya adalah teori keterkaitan publik. Teori ini ditelurkan oleh Dave Burgin, seorang yang pernah menjadi redaktur berbagai suratkabar dari Florida hingga California. Ia menyatakan bahwa setiap orang pasti memiliki suatu ketertarikan akan suatu hal, bahkan mungkin saja ia adalah pakar di bidang tersebut. Sehingga dengan demikian, tidak ada orang yang mengambil sikap tidak ambil peduli atau sebaliknya, sikap yang ingin tahu semua hal. Oleh karena itu, teori ini menekankan bahwa visi yang lebih majemuk tentang Keterkaitan Publik menyarankan bahwa syarat-syarat pers lama, yaitu melayani kepentingan komunitas terbesar yang dimungkinkan, tetap tidak tergoyahkan.

Tantangan Baru

Walaupun jurnalisme terikat kuat oleh nilai-nilai tradisional, namun, memasuki abad ke-21 ini, profesi ini mungkin menghadapi ancaman terbesarnya. Disebut ancaman terbesar karena jurnalisme telah berkembang menjadi jurnalisme pasar yang mulai menjaga jarak dari pemikiran akan tanggung jawab terhadap masyarakat.
Secara garis besar ada 3 kekuatan yang kini menyebabkan terjadinya pergeseran jurnalisme dari upaya pengembangan komunitas. Yang pertama adalah sifat teknologi baru. Dalam hal ini, internet telah mulai memisahkan jurnalisme dari geografi dan selanjutnya memisahkan jurnalisme dari komunitas seperti yang kita pahami dalam pengertian politik atau kemasyarakatan. Sehingga pada masa kini, lebih mudah untuk melihat bagaimana orang melayani perdagangan di situs web yang berbasis kepentingan daripada melayani komunitas politik.
Kekuatan kedua yang menggoyahkan jurnalisme adalah globalisasi. Globalisasi yang dimaksudkan adalah saat  perusahaan-perusahaan terutama perusahaan media menjadi perusahaan tanpa batas atau lintas negara dan lintas regional. Dimana pemberitaan dan informasi tidak lagi memandang kewarganegaraan dan komunitas tradisional, sehingga kedua hal itu perlahan-lahan menghilang dalam pengertian komersial.
Kekuatan terakhir adalah konglomerasi. Yang dimaksudkan adalah munculnya perusahaan media yang menguasai banyak jaringan suratkabar serta komunitas yang berbeda. Konglomerasi media ini melahirkan kritik terhadap sifat mediokritas serta homogenitasnya. Selain itu, hal lain yang ditakutkan dari adanya konglomerasi media adalah ancaman terhadap independensi media. Ancaman terhadap independensi media ini adalah yang paling merisaukan karena akan menyentuh inti dari media itu sendiri yaitu kebenaran.

Keterangan : Tulisan ini merupakan ringkasan penulis atas bab 1
buku 9 Elemen Jurnalisme oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...