![]() |
Sumber : Google |
Besok adalah hari ulang tahun
Marissa. Naldo tiba di pintu gereja. Berjalan dengan langkah gontai. Ia
berlutut. Berdoa dalam hatinya.
”Tuhan, apa yang harus kulakukan
untuk menebus waktu yang tersisa? Aku hanya tidak ingin kehilangan dia. Tanpa
dia apa artinya aku ini?”
Tiba-tiba ia tersadar. Dengan
menengadahkan kepalanya ke langit-langit gereja yang megah dihiasi
ornamen-ornamen tua. Senyum akan harapan baru merekah menghias wajahnya.
”Terima kasih Tuhan, aku tahu apa
yang harus kulakukan untuk membahagiakan Dia,” dengan segera ia bangkit.
***
Jam 12 malam.
Marissa terlelap. Bibirnya sedikit terbuka
menampilkan sederet giginya yang rusak karena obat. Tanpa ia sadari Naldo masuk
dan mengecup tangannya.
Perlahan Marissa membuka matanya.
Melihat pangerannya duduk mendampingi.
”Naldo?” ia terheran-heran.
”Happy Birthday,” senyum Naldo mengembang.
Ia mengulurkan sebuah kado pada Marissa. Kado itu berbentuk tabung. Bulat
panjang berwarna kuning keemasan. Dengan pita yang juga berwarna kuning
tersimpul di tengahnya.
”Apa ini?” suara Marissa terdengar
lirih.
”Bukalah!” senyum Naldo mengembang.
Dengan perlahan karena tubuh yang
masih lemah, Marissa menarik pita kuning itu. Lalu, tutup tabung itu dibukanya.
Diambilnya pula gulungan kertas yang ada di dalam tabung itu. Dibukanya
perlahan. Dan dibacanya.
Mata Marissa berbinar-binar. Ketidakpercayaan
terpatri jelas pada raut wajahnya. Terlebih kala ia berpaling kepada Naldo dan
melihat sebentuk cincin putih yang ada di tangan Naldo.
”Maukah kau menikah denganku?” pertanyaan
itu terucap dari bibir Naldo saat Marissa dua pasang mata mereka bertemu.
Air mata bahagia jatuh membasahi pipi
Marissa yang putih. Ia diam.
Tak lama kemudian, Ia menggeleng.
”Kenapa?” Naldo tersentak.
”Aku akan mati. Aku tidak ingin
membuatmu terikat. Aku tidak bisa. Maaf,” jawab Marissa sembari memalingkan
mukanya.
”Mar, aku tidak akan terikat. Aku
tidak akan menyesal. Aku hanya mencintaimu. Aku hanya ingin membahagiakanmu,”
Naldo bangkit dan dengan halus membawa pandangan Marissa kembali kepadanya.
Dengan pandangan sayu Marissa menoleh ke Naldo.
”Aku sudah bahagia kok, Nald. Terima
kasih. Kaulah hadiah terindah dalam hidupku.”
”Aku tanya sekali lagi. Maukah kau
menikah denganku?” Naldo mengajukan pertanyaan yang sama.
Bergeming. Pikiran berkecamuk dalam otak Marissa.
Kali ini, perlahan
Marissa mengangguk. Tersenyum. Senyum paling manis yang pernah dilihat Naldo.
”Tidurlah, nanti akan menjadi hari
yang paling melelahkan bagimu,” Naldo mengecup mesra kening Marissa. Kemudian
melangkah pergi.
”Tuhan, ijinkan aku untuk menjadikan
Marissa berbahagia. Kuatkanlah aku dan dia,” doa Naldo dalam hati tatkala
kakinya melangkah keluar dari rumah sakit.
***
”Saudara Naldo, bersediakah kau
menerima saudari Marissa menjadi pendamping hidupmu. Dalam suka maupun duka.
Dalam susah maupun senang. Baik kaya maupun miskin hingga maut memisahkan kalian
berdua?” suara Pendeta yang tegas menambah
keistimewaan hari ini.
”Saya bersedia,” jawab Naldo. Mantap.
Ditatapnya Marissa yang tampil cantik
dalam balutan gaun pengantinnya putih. Cadar pengantin terurai panjang
dipunggungnya. Tangan kirinya mengenggam bunga. Tanggan kanannya mengapit
lengan Naldo.
”Saudari Marissa, bersediakah kau
menerima Naldo menjadi pendamping hidupmu. Baik dalam suka maupun duka, dalam
susah maupun senang, dalam kaya maupun miskin hingga maut memisahkan kalian
berdua?”
”Sa..ya b..er...se.dia,” terbata-bata
dan diiringi nafas berat, Marissa menjawab pertanyaan dari sang Pendeta.
”Maka, saat ini saya resmikan kalian
sebagai pasangan suami istri.”
Suara tepuk tangan membahana.
Tapi, itu membuat Marissa
pusing. Pandangannya serasa berputar. Ia pun merasa akan melayang.
”Tuhan, berikan aku sedikit waktu,” doa
Marissa dalam hati.
Tapi takdir berkata lain. Darah
keluar melalui hidungnya. Gaun pengantinnya memerah karena darah. Rencana Tuhan
tidak dapat dihindari.
Marissa jatuh pingsan tepat di saat ia telah menjadi
seorang istri . Sayup-sayup ia mendengar suara Naldo memanggil namanya.
”MARISSA! Bangun Marissa,” Naldo
panik, ”CEPAT!!! Telepon ambulans!!! CEPAT!!!” Naldo memeluk Marissa. Membisikinya
agar bertahan.
”Bangun sayang. Ku mohon. Jangan
biarkan aku sendiri di hari pertama kita menjadi suami istri!” air mata Naldo
jatuh membasahi pipi Marissa dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Marissa membuka matanya perlahan. Ia tersenyum.
Dengan tenaga tersisa, ia berusaha bangun. Mengecup pelan bibir Naldo. Dan
berbisik di telinga Naldo.
”Aku....sayang....padamu......terima...kasih...,”
ucapnya lemah. Yang dibalas Naldo dengan pelukan yang erat.
***
bersambung....
Comments
Post a Comment