![]() |
Sumber : Google |
Marissa sedang duduk sendiri di taman
rumah sakit. Wajahnya kini tampak sedikit tirus karena pengaruh obat yang
dikonsumsinya. Rambutnya yang dulu tebal, kini tampak menipis. Walau tida
mengurangi pesonanya.
Menggunakan baju rumah sakit berwarna
biru muda, Marissa sedang termenung sendiri saat ia didekati seseorang.
”Permisi, boleh duduk di sebelah
kamu?” sebuah suara menyapanya ramah. Perlahan ia menoleh.
Mata Marissa tidak bisa mempercayai
sosok yang ada di hadapannya.
”Naldo?” Marissa bangkit. Perlahan,
ia berjalan mundur menjauhi Naldo.
”Iya Mar, ini aku.” Senyum mengembang
di wajah Naldo.
”Kok bisa? Kenapa kamu ada disini?
Aku ga mau kamu tahu penyakit aku!” Marissa sedikit berlari. Namun, tubuh yang
lemah membuat ia cepat lelah. Dan kini ia sudah ada dalam pelukan Naldo.
”Mar, please. Jangan pergi lagi.
Jangan tinggalin aku lagi seperti dulu,” suara Naldo bergetar.
Perlahan, Naldo melepas pelukannya,
kedua tangannya memegang bahu Marissa, sedang matanya memandang jauh ke dalam
mata Marissa.
”Aku hanya ingin menjadi wanita
normal. Menjadi seorang istri. Melahirkan anak. Dan melihat mereka tumbuh. Hanya
itu,” wajah Marissa merah karena kesal. Kepalanya tertunduk lesu. Perlahan
airmatanya jatuh ke atas rerumputan hijau.
”Tuhan tidak adil! Kenapa harus aku?”
serunya dengan lantang seraya kepala yang mendongak. Butiran air mata yang
jatuh nampak membasahi pipinya. Sambil tersedu-sedu, ia melampiaskan isi
hatinya.
Sepasang lengan memeluknya dari belakang.
”Mar, kita semua harus tabah dengan
cobaan ini. Setiap cobaan pasti ada hikmahnya?”
”Aku tahu, aku tahu. Tapi ini terlalu
berat, Nald.” Mereka berdua kini berjalan beriringan kembali ke kamar Marissa.
Setibanya di kamar, Naldo mebantu
Marissa kembali ke pembaringannya.
”Kamu istirahat dulu ya. Jangan
terlalu lelah,” perlahan Naldo membenarkan selimut yang membungkus tubuh
Marissa.
”Mar, kamu tidak tahu betapa
kehilangannya aku. Kamu juga tidak tahu betapa cintanya aku padamu,” gumam
Naldo dalam hati.
***
”Huk...huk..,” Marissa terbatuk-batuk
dalam tidurnya. Darah segar mengalir keluar dari hidungnya. Perlahan dia
membuka matanya. Bergerak lemah meraih tombol. Kemudian menekan dengan sisa
tenaga yang ada.
***
***
Keringat membasahi tubuh Naldo.
Wajahnya pucat. Tangannya dingin. Dan seketika, ia berlari waktu mendengar
keadaan Marissa memburuk.
”Sus, Marissa dimana?”
”Masih di ruang ICU,” suster Abbie
melangkah cepat menuju ruang ICU.
Naldo terduduk di ruang tunggu.
Menunduk. Berdoa.
”Marissa adalah segalanya, jangan
sampai aku kehilangan dia,” doanya dalam hati.
”Tuhan, jangan ambil Marissa dariku.
Berikan aku waktu. Aku ingin dia tahu perasaanku. Bukan sebagai sahabat. Tapi
sebagai seorang teman hidup.”
Beberapa perawat keluar mendorong
ranjang Marissa. Marissa terlelap. Wajahnya yang semula berisi, kini menjadi
tirus. Rambutnya pun menipis. Dan kulitnya menjadi kering. Naldo menyentuh
wajah Marissa. Setetes air mata syukur jatuh dari matanya yang besar.
”Terima kasih Tuhan,
terima...kasih...,” Naldo mengikuti Marissa ke kamar “matahari”, sebutan
Marissa untuk kamarnya yang di cat kuning dengan sengaja oleh Marissa.
Naldo duduk disamping Marissa. Tangannya
erat mengenggam tangan Marissa. Dengan lembut ia mencium punggung telapak
tangan Marissa. Kemudian membelai wajahnya.
”Marissa, aku tetap mencintaimu sejak
saat pertama kau datang dalam hidupku. Memang kau pernah pergi dari sisiku.
Tapi hatimu tetap diam di dalam hatiku. Hanya karenamulah aku bisa bangkit dari
keterpurukan. Kaulah yang memberikan arti dalam hidupku,” bisik Naldo lembut
sementara airmatanya menetes. Perlahan ia menjauh menuju ke pintu kamar
Marissa. Lalu.
”Nald,” suara Marissa yang sayup-sayup
membuat Naldo terkejut.
”Mar? kamu bangun?” Naldo menyeka
airmatanya. Sebuah senyum ada di wajahnya.
”Hm, aku dengar yang kamu katakan
tadi. Aku cuma mau kamu tahu, aku juga merasakan yang sama..” sebuah pernyataan
yang menyejukkan hati terdengar sebelum Marissa kembali terlelap karena
pengaruh obat bius.
Hanya sebuah kalimat sederhana.
Namun, kebahagiaan memenuhi hati Naldo. Jantungnya berdegup kencang. Tak henti
ia mengucap syukur pada Sang Khalik.
***
Sudah sebulan mereka menjalin
hubungan yang dulu sempat tertunda. Bersama Marissa, kini Naldo merasa lengkap.
Hampa dalam dirinya kini melimpah ruah bak mata air yang tidak pernah kering.
Hal yang sama juga dirasakan Marissa.
Kesehatannya meningkat dibandingkan saat-saat sebelumnya. Terbukti cinta adalah
sumber kekuatan yang sejati.
Namun, kebahagiaan mereka diselimuti
kecemasan. Kecemasan akan kematian yang siap menghadang kapan saja. Keretakan
yang tidak terlihat.
”Mar, aku tidak ingin kehilanganmu.”
”Kamu tahu aku akan pergi. Aku benci
mengatakan aku akan mati. Tapi begitulah nasibku.”
Dua pasang mata saling berurai air
mata. Mereka memeluk erat satu sama lain. Bersama saling menguatkan.
Mempersiapkan yang akan terjadi kelak.
”Kalau boleh memilih. Aku ingin
hidup. Aku ingin melihat anakku tumbuh besar. Menikah. Kemudian punya cucu.
Tapi kita tahu. Itu hanya akan menjadi sebuah impian yang akan terkubur bersama
jasadku,” Marissa menghapus air matanya. Berusaha tabah. Dan tersenyum.
”Kita pasti bisa lewati ini semua.
Kita akan berdoa lebih keras. Memohon pada sumber keajaiban,” ucap Naldo
sembari memandang ke angkasa biru.
Marissa menggeleng perlahan. Lalu
meremas rambutnya. Sejumput rambut berada dalam genggaman Marissa.
”Kau lihat ini? Waktuku tinggal
sedikit lagi,” serunya sambil menahan air mata. Naldo dengan sigap memeluk. Air
mata keduanya pun jatuh. Mereka menangis tersedu-sedu. Saling berbagi. Saling
mencintai. Cintalah yang menguatkan Marissa menghadapi penyakitnya.
”Jangan katakan itu. Aku mohon. Kau
tahu aku tidak akan sanggup hidup tanpamu,” ucap Naldo sembari melepas
pelukannya. Digenggamnya erat tangan Marissa. Sementara matanya memandang jauh
ke dalam kedua mata Marissa.
Marissa hanya diam. Perlahan ia memeluk Naldo
kembali.
***
Comments
Post a Comment