Skip to main content

CHAPTER X, WHEN I MET HER - PART II

Sumber : Google


  
Marissa sedang duduk sendiri di taman rumah sakit. Wajahnya kini tampak sedikit tirus karena pengaruh obat yang dikonsumsinya. Rambutnya yang dulu tebal, kini tampak menipis. Walau tida mengurangi pesonanya.
Menggunakan baju rumah sakit berwarna biru muda, Marissa sedang termenung sendiri saat ia didekati seseorang.
”Permisi, boleh duduk di sebelah kamu?” sebuah suara menyapanya ramah. Perlahan ia menoleh.
Mata Marissa tidak bisa mempercayai sosok yang ada di hadapannya.
”Naldo?” Marissa bangkit. Perlahan, ia berjalan mundur menjauhi Naldo.
”Iya Mar, ini aku.” Senyum mengembang di wajah Naldo.
”Kok bisa? Kenapa kamu ada disini? Aku ga mau kamu tahu penyakit aku!” Marissa sedikit berlari. Namun, tubuh yang lemah membuat ia cepat lelah. Dan kini ia sudah ada dalam pelukan Naldo.
”Mar, please. Jangan pergi lagi. Jangan tinggalin aku lagi seperti dulu,” suara Naldo bergetar.
Perlahan, Naldo melepas pelukannya, kedua tangannya memegang bahu Marissa, sedang matanya memandang jauh ke dalam mata Marissa.
”Aku hanya ingin menjadi wanita normal. Menjadi seorang istri. Melahirkan anak. Dan melihat mereka tumbuh. Hanya itu,” wajah Marissa merah karena kesal. Kepalanya tertunduk lesu. Perlahan airmatanya jatuh ke atas rerumputan hijau.
”Tuhan tidak adil! Kenapa harus aku?” serunya dengan lantang seraya kepala yang mendongak. Butiran air mata yang jatuh nampak membasahi pipinya. Sambil tersedu-sedu, ia melampiaskan isi hatinya.
 Sepasang lengan memeluknya dari belakang.
”Mar, kita semua harus tabah dengan cobaan ini. Setiap cobaan pasti ada hikmahnya?”
”Aku tahu, aku tahu. Tapi ini terlalu berat, Nald.” Mereka berdua kini berjalan beriringan kembali ke kamar Marissa.
Setibanya di kamar, Naldo mebantu Marissa kembali ke pembaringannya.
”Kamu istirahat dulu ya. Jangan terlalu lelah,” perlahan Naldo membenarkan selimut yang membungkus tubuh Marissa.
”Mar, kamu tidak tahu betapa kehilangannya aku. Kamu juga tidak tahu betapa cintanya aku padamu,” gumam Naldo dalam hati.

***

”Huk...huk..,” Marissa terbatuk-batuk dalam tidurnya. Darah segar mengalir keluar dari hidungnya. Perlahan dia membuka matanya. Bergerak lemah meraih tombol. Kemudian menekan dengan sisa tenaga yang ada.

***

Keringat membasahi tubuh Naldo. Wajahnya pucat. Tangannya dingin. Dan seketika, ia berlari waktu mendengar keadaan Marissa memburuk.
”Sus, Marissa dimana?”
”Masih di ruang ICU,” suster Abbie melangkah cepat menuju ruang ICU.
Naldo terduduk di ruang tunggu. Menunduk. Berdoa.
”Marissa adalah segalanya, jangan sampai aku kehilangan dia,” doanya dalam hati.
”Tuhan, jangan ambil Marissa dariku. Berikan aku waktu. Aku ingin dia tahu perasaanku. Bukan sebagai sahabat. Tapi sebagai seorang teman hidup.”
Beberapa perawat keluar mendorong ranjang Marissa. Marissa terlelap. Wajahnya yang semula berisi, kini menjadi tirus. Rambutnya pun menipis. Dan kulitnya menjadi kering. Naldo menyentuh wajah Marissa. Setetes air mata syukur jatuh dari matanya yang besar.
”Terima kasih Tuhan, terima...kasih...,” Naldo mengikuti Marissa ke kamar “matahari”, sebutan Marissa untuk kamarnya yang di cat kuning dengan sengaja oleh Marissa.
Naldo duduk disamping Marissa. Tangannya erat mengenggam tangan Marissa. Dengan lembut ia mencium punggung telapak tangan Marissa. Kemudian membelai wajahnya.
”Marissa, aku tetap mencintaimu sejak saat pertama kau datang dalam hidupku. Memang kau pernah pergi dari sisiku. Tapi hatimu tetap diam di dalam hatiku. Hanya karenamulah aku bisa bangkit dari keterpurukan. Kaulah yang memberikan arti dalam hidupku,” bisik Naldo lembut sementara airmatanya menetes. Perlahan ia menjauh menuju ke pintu kamar Marissa. Lalu.
”Nald,” suara Marissa yang sayup-sayup membuat Naldo terkejut.
”Mar? kamu bangun?” Naldo menyeka airmatanya. Sebuah senyum ada di wajahnya.
”Hm, aku dengar yang kamu katakan tadi. Aku cuma mau kamu tahu, aku juga merasakan yang sama..” sebuah pernyataan yang menyejukkan hati terdengar sebelum Marissa kembali terlelap karena pengaruh obat bius.
Hanya sebuah kalimat sederhana. Namun, kebahagiaan memenuhi hati Naldo. Jantungnya berdegup kencang. Tak henti ia mengucap syukur pada Sang Khalik.

***

Sudah sebulan mereka menjalin hubungan yang dulu sempat tertunda. Bersama Marissa, kini Naldo merasa lengkap. Hampa dalam dirinya kini melimpah ruah bak mata air yang tidak pernah kering.
Hal yang sama juga dirasakan Marissa. Kesehatannya meningkat dibandingkan saat-saat sebelumnya. Terbukti cinta adalah sumber kekuatan yang sejati.
Namun, kebahagiaan mereka diselimuti kecemasan. Kecemasan akan kematian yang siap menghadang kapan saja. Keretakan yang tidak terlihat.
”Mar, aku tidak ingin kehilanganmu.”
”Kamu tahu aku akan pergi. Aku benci mengatakan aku akan mati. Tapi begitulah nasibku.”
Dua pasang mata saling berurai air mata. Mereka memeluk erat satu sama lain. Bersama saling menguatkan. Mempersiapkan yang akan terjadi kelak.
”Kalau boleh memilih. Aku ingin hidup. Aku ingin melihat anakku tumbuh besar. Menikah. Kemudian punya cucu. Tapi kita tahu. Itu hanya akan menjadi sebuah impian yang akan terkubur bersama jasadku,” Marissa menghapus air matanya. Berusaha tabah. Dan tersenyum.
”Kita pasti bisa lewati ini semua. Kita akan berdoa lebih keras. Memohon pada sumber keajaiban,” ucap Naldo sembari memandang ke angkasa biru.
Marissa menggeleng perlahan. Lalu meremas rambutnya. Sejumput rambut berada dalam genggaman Marissa.
”Kau lihat ini? Waktuku tinggal sedikit lagi,” serunya sambil menahan air mata. Naldo dengan sigap memeluk. Air mata keduanya pun jatuh. Mereka menangis tersedu-sedu. Saling berbagi. Saling mencintai. Cintalah yang menguatkan Marissa menghadapi penyakitnya.
”Jangan katakan itu. Aku mohon. Kau tahu aku tidak akan sanggup hidup tanpamu,” ucap Naldo sembari melepas pelukannya. Digenggamnya erat tangan Marissa. Sementara matanya memandang jauh ke dalam kedua mata Marissa.
 Marissa hanya diam. Perlahan ia memeluk Naldo kembali.

***

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...