Pria
di apartemen itu terlihat membalik halaman di dalam buku yang cukup tebal itu.
Sesaat ia tersenyum lebar. Dan kemudian kepalanya bergeleng. Mungkin ia
mengingat hal lucu yang dulu terjadi dan kini masih hidup dalam alam
kenangannya.
***
Senin,
5 Januari 2009, pukul 07.50. Naldo sudah siap di ruang kelasnya sejak setengah
jam yang lalu. Ia dan Marissa harus mempresentasikan tugas yang kemarin sudah
mereka kerjakan bersama.
”Yak,
siapa yang presentasi pada pertemuan kali ini?” dosen yang dulu sempat mengusir
mereka berdua bertanya setelah memberikan pengantar bahan hari itu.
”Saya
pak,” tangan Marissa mengacung.
”Silakan
dipersiapkan,” jawaban dosen itu direspon Naldo dan Marissa dengan maju ke
depan.
”Selamat
pagi teman-teman,” Marissa yang terhitung sebagai primadona di kelasnya mulai
menyapa teman-temannya.
”Pagi
ini saya dan Naldo akan memprentasikan tentang perubahan social,” papar Marissa
yang diikuti celoteh dan riuh rendah teman-teman sekelasnya yang menggoda
kedekatan Marissa dan Naldo. Sementara, kedua insan itu, hanya bisa tersipu
malu.
”Ya,
mohon ditunggu sebentar, Naldo sedang mempersiapkan bahan presentasi kami,”
Marissa berusaha menguasai keadaan saat Naldo terlihat kesulitan menghubungkan
laptopnya dengan proyektor kelas, ”Nah, perubahan itu…………”
Marissa
belum juga selesai memberikan penjelasan saat suara tawa pecah di kelas itu.
Marissa yang membelakangi layar tidak menyadari apa yang sesungguhnya terjadi
hingga satu dua teman dekatnya menunjuk ke arah layar.
Ia
kemudian berbalik dan menemukan. Di layar kelas itu, terpampang jelas foto
dirinya. Marissa lalu berpikir, kenapa
mereka semua tertawa. Akhirnya ia menyadari, jika laptopnya yang digunakan,
maka hal itu wajar adanya. Namun, sekarang laptopnya masih terbungkus rapi di
dalam tas dan laptop yang ada di depan adalah milik, NALDO.
Tak
perlu instruksi, Marissa segera berpaling kepada Naldo yang tampak sedang
kesulitan mengganti gambar itu. Tawa dan canda di kelas itu baru sedikit reda
setelah dosen itu berbicara.
Hari
itu, presentasi berjalan dingin. Naldo lebih banyak diamnya daripada berbicara.
Bahkan kondisi itu berlanjut hingga kuliah hari itu berakhir.
***
Senin, 5 Januari 2009
“Bro, gue bodoh banget pagi tadi. Gue ga ngeganti wallpaper laptop gue yang gambarnya Marissa.. alhasil, semua orang ketawa. Yaa, ga penting sih klo orang lain.Tapi tadi itu, gue presentasi sama Marissa, n dia ngeliat dengan mata dia sendiri, foto dia ada di dalam laptop gue.!!!!! MATI LAH!!!!!Gue harus gimana yaa!?!? Sejak tadi pagi, gue udah ga ngom neh sama dia. Hmhm,, atau gue diemin aj ya??? Tapi mpe kapan gue mw diem kaya gini … ga gentle bnget. Hmhm,, atau.. gue ajak dia ketemuan aj?????????? Tapi gue ga berani!!!!
***
Seminggu
lamanya Marissa tidak bersama Naldo. Insiden di hari senin lalu sungguh
memberikan perubahan yang besar bagi keduanya. Alih-alih saling berbicara,
mereka justru berusaha menghindar satu dengan yang lainnya. Entah apa yang ada
dalam pikiran mereka.
Padahal,
biasanya mereka selalu bersama. Canda tawa tidak pernah terlepas dalam
keseharian mereka. Walau status mereka adalah sahabat, orang lain akan
cenderung memandang mereka layaknya sepasang merpati yang dimabuk asmara.
Namun,
kini salah satu merpati itu sedang berbaring sendirian dalam kamarnya. Dan
tiba-tiba blackberry-nya berdering.
Ge ap? Nanti bisa ketemuan? , pesan itu berasal dari Naldo.
Bsa aja, mw dmn? , Marissa, sang merpati yang berbaring kesepian
itu membalas.
Di taman deket rumah lu aja,
gmn?
Bole. , pesan balasan dari Marissa kembali mengantar
Marissa dalam kesendirian di kamarnya.
Tak
henti pikirannya memutar apa yang tadi pagi terjadi. Perlahan, ia berusaha
menebak arti semuanya. Beberapa kemungkinan bermunculan di angannya. Sesaat ia
tersenyum, tapi sesaat kemudian ia tampak serius berpikir lagi. Hingga akhirnya
ia terlelap.
***
Hari
sudah memasuki petang saat Marissa terbangun. Hujan deras sepanjang siang hari
kini sudah mulai reda. Setelah bersiap sebentar. Marissa meraih payung di dekat
pintu masuk rumahnya. Sebuah payung berwarna kuning, warna kegemarannya.
Matahari kan berwarna kuning,
dan matahari itu menjadi sumber kehidupan, jadi sebenarnya kuning adalah warna
kehidupan, begitu jawabannya saat
ada orang yang menanyakan.
Hujan
rintik-rintik kecil menyertai langkah Marissa di jalan yang basah. Perlahan ia
berjalan ke taman yang terletak di timur rumahnya. Dalam pikirannya, masih
bermain beberapa tebakan akan kejadian selanjutnya.
Tidak
sampai 10 menit, Marissa memasuki areal taman yang tampak asri di bawah guyuran
air hujan. Mentari senja tampak
mengintip dari balik awan, memancarkan sinar yang terpantul butir-butir air
pada rumput hijau. Sungguh suasana yang menyenangkan dan menentramkan hati.
Marissa terus berjalan. Di depan, dalam sebuah gazebo di tengah taman. Tampak
sesosok tubuh setinggi lebih dari 170 sentimeter menanti.
Pemuda
yang mengenakan celana pendek dengan sebuah cardigan
membalut kaos itu sedang memandang ke arah yang berlawanan sehingga tidak
menyadari kehadiran Marissa yang mengenakan kaos lengan pendek dengan sebuah
celana yang panjangnya selutut.
”Hai,”
Marissa menyapa.
”Eh,
uda dateng ya,” Naldo yang sedari tadi memandangi titik-titik hujan yang
memecah permukaan kolam di taman itu berbalik badan.
Marissa
yang baru saja meletakkan payungnya di tepi gazebo mengambil tempat duduk di
tengah gazebo itu. Kedua tangannya tampak memeluk lengannya sendiri.
”Kok
pake kaos pendek doang sih?” ujar Naldo melihat
hal itu. Dengan segera, ia melepas cardigan
yang digunakannya, dan dibungkusnya tubuh Marissa yang mungil dengan cardigan itu.
”Makasih,”
sebuah ucapan yang disertai senyum dihadiahkan Marissa.
”Anyway,
kenapa ma ketemu, Nald?” Marissa bertanya setelah ia merasa sedikit hangat.
Naldo
kemudian mengambil tempat duduk di sisi Marissa.
”Pasti
soal yang tadi pagi ya?” Marissa mengeluarkan salah satu tebakan yang ada di
ruang kepalanya.
Kepala
Naldo mengangguk perlahan.
”Hm,
ga usah dipikirinlah,” Marissa berkata santai, ”Toh, kita ga ada hubungan
apa-apa kan.”
Naldo
masih diam saja. Marissa yang melihatnya, sudah siap dengan pertanyaan
selanjutnya saat mulut Naldo terbuka.
”Ya,
karena kita ga ada hubungan itu, gue jadi kepikiran.”
”Kepikiran
apa, Nald?” Marissa kini memberi perhatian lebih, ”Lu bukan bener-bener suka sama
gue kan?”
Naldo
tersenyum. Yang diikuti tawa Marissa.
”Tapi
gue suka sama lu, Mar,” jawaban Naldo menghentikan tawa Marissa.
”Oke,
oke. Gue tahu ini susah buat lu. Sebenarnya, gue beban banget buat ngom ma lu.
Apa lagi kalo inget tentang nyokap lu. Tapi inilah gue sebenarnya. Gue yang
dulu emang sebel banged sama seorang Marissa. Tapi, sekarang beda. Gue suka
sama lu.”
Marissa
tertegun. Suasana taman itu begitu tenangnya. Hanya suara air yang pecah di
permukaan kolam saja yang membuktikan bahwa waktu masih terus berjalan.
”Gue
ga minta lu jawab kok. Gue tahu ini ga mungkin. Secara kita berbeda. Dan lagi,
gue cukup bahagia jikalau lu masih mau jadi sahabat gue,” Naldo menggenggam
tangan Marissa sementara kedua matanya menatap dalam ke mata Marissa. Sesaat,
Naldo melepas genggamannya dan hanya menunduk.
Sekali
lagi, suasana hening. Sesekali suara kodok juga membuktikan bahwa waktu tidaklah
berhenti.
”Gue
juga suka sama lu, Nald,” Marissa memandang pada pemuda di sampingnya.
”Gue
juga ngerasain hal yang sama. Gue ga mau pertemanan kita berhenti kalo ternyata
kita pacaran.”
”Hm,
jadi lu mau jadi pacar gue, Mar?” Naldo tampak sumringah.
Sebuah
anggukan dan senyuman diberikan Marissa kepada Naldo. Yang kemudian dibalas
Naldo dengan sebuah pelukan hangat di tengah dinginnya udara taman selepas
hujan reda.
Lihatlah,
di langit sana, sang rembulan tampak jelas di tengah langit yang gelap.
Sinarnya laksana memantulkan kebahagiaan hati dua insan yang saling bertaut.
Kini
Marissa tidak berjalan sendiri saat meninggalkan taman itu. Di sisinya, ia
memiliki seorang kekasih yang mencintai
dia sepenuh hati.
***
12 Januari 2009
“Bro, hari ini hari yang spesial!!!! Walau mungkin ga akan bisa dipercaya.. GUE JADIAN.. dan wanita itu adalah seseorang yang selama ini gue ceritain sebagai nenek lampir…. MARISSA.... Cinta emang aneh ya..Gue bilang aneh bukan karena gue suka sama nenek lampir.. Setelah belakangan ini, gue mnyadari kalo Marissa tuh ternyata primadona di kelas gue, bahkan di kampus dan gue ga nyangka sesjak awal kuliah gue bisa aja kenal sama dia. Dan sekarang malah pacaran!!!!Padahal, sebelumnya hati gue uda kalut banged karena insiden dalam kelas sosiologi senin itu. Tapi ternyata gue ga bertepuk sebelah tangan.Kini, gue bakal menjaga cinta ini. Coz gue ngerasa cewe yang satu ini berbeda dari yang lain. Entah kenapa. Hati gue berkata begitu.Yaa, gue tahu ini ga bakal mudah, tapi,berupaya tidak pernah ada salahnya.”
....bersambung.....
Comments
Post a Comment