Skip to main content

CHAPTER VI, TAK SEINDAH BAYANGMU



Sebulan lebih hubungan itu berjalan. Selama itu, ada banyak waktu-waktu yang dihabiskan bersama. Saat-saat itu sangat berharga itu dilalui dengan penuh canda dan tawa. Bahkan, mereka juga meluangkan waktu untuk belajar bersama. Sehingga hasilnya diperoleh di semester selanjutnya, beasiswa bagi Naldo dan Marissa. Bagi Naldo, saat ini semua tampaknya berjalan begitu  menyenangkan.
Namun, terkadang Naldo murung kala mengingat mama Marissa. Hingga kini mama Marissa belum bisa menerima kedekatan Naldo dengan putri semata wayangnya itu. Oleh karena itu, mereka berdua sepakat belum memberitahukan bahwa mereka berpacaran pada beliau.

Namun, pertanyaannya, sampai kapan mereka harus seperti itu?

”Nald, aku bingung neh,” Marissa bersandar pada pundak Naldo sementara mereka ada di dalam shuttle yang mengantar mereka dari kampus ke mal SMS.
”Tentang mamimu ya?” Naldo sudah bisa menebak arah pembicaraan itu, ”Kamu udah siap say untuk ngomong sama mamimu?”
”Itu dia, aku ga tahu nih kapan siapnya.”
”Ya, kita ga mungkin juga kan ga memberitahu mamimu,” Naldo menggenggam erat tangan kekasih hatinya itu, ”Lakukan aja apa yang terbaik buat kamu say.”

***

”APA?!?!?! Kamu pacaran sama dia?? Kan mama udah larang kamu bergaul sama dia Rissa!!
”Ma, tapi dengerin dulu penjelasan Rissa.”
”Gak ada yang perlu dijelaskan!! Udah jelas-jelas dia beda Rissa sama kita. Dalam tubuh kamu tuh mengalir darah bangsawan!! Sedangkan dia. Siapa dia???”
”IYA!! Darah bangsawan yang bikin papa meninggal saat aku masih kecil!!!!” baru kali ini Marissa membentak sang bunda, ”BIAR AJA AKU MATI KAYAK PAPA!”
”MARISSA!!! APA-APAAN KAMU?!?!?”
PPLLAAAKK….
Telapak tangan sang bunda telak menghantam pipi Marissa.
”Sekarang masuk kamar!! Dan jangan keluar lagi!!” tangan sang bunda mengacung, menunjuk ke lantai dua, tempat kamar Marissa berada, ”Besok ga usah kamu kuliah!! Kebetulan mama sudah urus kepindahan kamu ke Australia!!!”

***

Ting Tong…Ting Tong..
Sudah setengah jam Naldo berdiri di depan sebuah rumah dua lantai bergaya Mediteranian yang terakhir kali ia sambangi 3 bulan yang lampau. Bedanya, dulu Naldo datang dalam derasnya hujan, sementara saat ini terik matahari setia memayungi Naldo.
Sudah berkali-kali ia mencoba untuk membunyikan bel. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa penghuninya berada di dalam rumah.
Tiba-tiba, seseorang menepuk bahu Naldo.
”Cari siapa, Nak?” seorang bapak tua  berdiri di belakang Naldo. Bahu kanannya terlihat memanggul cangkul sementara tangan kirinya memegang karung beras bekas.
”Saya mau cari Marissa, Pak.”
”Owh, non Marissa.”
”Bapak tahu??” sedikit asa tumbuh dalam hati Naldo.
”Kalau bole tahu, adek ini siapa?”
”Saya Naldo, Pak, teman kuliahnya Marissa.”
 ”Naldo?” si bapak tua mengulangi. Terdengar seperti tidak yakin.
”Benar, Pak. Marissanya ada di rumah, Pak?”
”Waduw, nak Naldo terlambat. Non Marissa nya sudah pergi dari seminggu yang lalu tuh bersama nyonya besar,” jawaban itu laksana petir di tengah terik mentari bagi Naldo.
Diam. Naldo hanya diam. Diam seribu bahasa. Setelah sesaat dan dapat menguasai dirinya.
”Boleh tahu pak dia kemana?”
”Wadhuw, saya kurang begitu tahu tuh nak Naldo,” bapak tua terlihat sedikit bingung, ”tapi kalau tidak sealah, mereka ke luar negeri Nak.”
Asa yang tadi semapt ada, kini layu sebelum berkembang.
”Tapi kalau ade ini benar Naldo, non Marissa ada ninggalin kertas buat ade,” si pak tua tiba-tiba mengingat sesuatu.
Pak tua itu kemudian membuka gembok gerbang depan dan masuk ke dalam. Selanjutnya ia membuka garasi rumah itu dan sesaat kemudian keluar dengan secarik kertas yang berwarna merah muda berada dalam genggamannya.
”Kata non Marissa, tolong kasih ini ke yang cowo bernama Naldo,” pak tua menyerahkan kertas itu pada Naldo.
”Terima kasih, Pak.”
Langkah gontai menyertai Naldo meninggalkan rumah itu. Sesekali ia menoleh ke jendela yang ada di sisi kiri rumah di tingkat dua. Jendela kamar dimana kekasih hatinya pernah tinggal.

***

Pria muda tadi, kini memandang ke arah luar apartemennya. Dari jendela terlihat jelas hujan semakin deras sejalan dengan malam yang bertambah gelap. Pria itu sejenak memejamkan matanya. 
Di tangannya buku yang sedari tadi dibaca, masih terbuka. Tapi ada yang berbeda. Ada secarik kertas berwarna merah muda terlipat. Perlahan ia mengangkat kertas itu dan membaca tulisan di buku.

13 Februari 2009

“Terjawab sudah semua pertanyaan hatiku tentang mamamu. Mamamu memang tidak bisa menerima hubungan kita. Dan kini kamu pergi begitu saja tanpa ada kabar. Bahkan aku tidak tahu kemana kamu pergi, Mar.
Hm, kata orang, besok adalah hari kasih sayang. hari dimana kita menyatakan kasih pada orang yang benar-benar kita cintai. Tapi sekarang, bersama siapa aku harus merayakannya??? Terlebih bersama siapa aku lewati hari-hari di depan????
Yang aku tahu sekarang, separuh jiwaku telah pergi.. Pergi bersama sepucuk surat darimu yang terlampir untukku.”
***

Naldo kini sudah tiba di rumahnya. Lalu ia membuka kertas merah muda yang terlipat tiga itu. Tidak ada tanggal. Tidak ada nama. Tapi ia mengenali wanita yang tulisannya terukir di atas kertas tersebut.
Perlahan ia membacanya. Dalam hati.

Semua hal di bumi ini
Tak semua dapat kita miliki
Kadang kita harus belajar menerima dan merelakan
Karena tak ada keabadian di bumi
Bila rasa tidak lagi ada
Bila cinta tidak lagi bersemi
Lupakanlah jika itu sakit bagimu
Kenanglah bila itu baik untukmu
T’ruslah melangkah tanpa melihat ke belakang
Ku yakin,
Kau akan menjadi lebih baik dari sebelumnya…

Sekejap, tulisan itu selesai dibaca. Jika memakai otak, tak butuh waktu lama memahaminya. Tapi, ketika hati berbicara, waktu pun seakan tiada cukupnya.
Desahan nafas dihembuskan. Naldo membatin, ”Mar, kamu emang romantis. Selama aku bersama kamu, bahkan pas kamu pergi meninggalkan aku.”
Bulir air mata kini menetes. Tangisan pertama Naldo semenjak ia terjatuh dari sepeda 13 tahun silam.
Bagaimana caranya kamu tahu aku bisa lebih baik dari sebelumnya jika kamu tidak disini, Mar?

Tolong beritahu aku. Beritahu aku cara menjadi lebih baik itu. Beritahu aku cara melangkah tanpa melihat padamu. Beritahu aku dimana kamu berada…”

***

....bersambung....

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...