Sebulan
lebih hubungan itu berjalan. Selama itu, ada banyak waktu-waktu yang dihabiskan
bersama. Saat-saat itu sangat berharga itu dilalui dengan penuh canda dan tawa.
Bahkan, mereka juga meluangkan waktu untuk belajar bersama. Sehingga hasilnya
diperoleh di semester selanjutnya, beasiswa bagi Naldo dan Marissa. Bagi Naldo,
saat ini semua tampaknya berjalan begitu
menyenangkan.
Namun,
terkadang Naldo murung kala mengingat mama Marissa. Hingga kini mama Marissa
belum bisa menerima kedekatan Naldo dengan putri semata wayangnya itu. Oleh
karena itu, mereka berdua sepakat belum memberitahukan bahwa mereka berpacaran
pada beliau.
Namun, pertanyaannya, sampai
kapan mereka harus seperti itu?
”Nald,
aku bingung neh,” Marissa bersandar pada pundak Naldo sementara mereka ada di
dalam shuttle yang mengantar mereka
dari kampus ke mal SMS.
”Tentang
mamimu ya?” Naldo sudah bisa menebak arah pembicaraan itu, ”Kamu udah siap say
untuk ngomong sama mamimu?”
”Itu
dia, aku ga tahu nih kapan siapnya.”
”Ya,
kita ga mungkin juga kan ga memberitahu mamimu,” Naldo menggenggam erat tangan
kekasih hatinya itu, ”Lakukan aja apa yang terbaik buat kamu say.”
***
”APA?!?!?!
Kamu pacaran sama dia?? Kan mama udah larang kamu bergaul sama dia Rissa!!
”Ma,
tapi dengerin dulu penjelasan Rissa.”
”Gak
ada yang perlu dijelaskan!! Udah jelas-jelas dia beda Rissa sama kita. Dalam
tubuh kamu tuh mengalir darah bangsawan!! Sedangkan dia. Siapa dia???”
”IYA!!
Darah bangsawan yang bikin papa meninggal saat aku masih kecil!!!!” baru kali
ini Marissa membentak sang bunda, ”BIAR AJA AKU MATI KAYAK PAPA!”
”MARISSA!!!
APA-APAAN KAMU?!?!?”
PPLLAAAKK….
Telapak
tangan sang bunda telak menghantam pipi Marissa.
”Sekarang
masuk kamar!! Dan jangan keluar lagi!!” tangan sang bunda mengacung, menunjuk
ke lantai dua, tempat kamar Marissa berada, ”Besok ga usah kamu kuliah!! Kebetulan
mama sudah urus kepindahan kamu ke Australia!!!”
***
Ting
Tong…Ting Tong..
Sudah
setengah jam Naldo berdiri di depan sebuah rumah dua lantai bergaya
Mediteranian yang terakhir kali ia sambangi 3 bulan yang lampau. Bedanya, dulu
Naldo datang dalam derasnya hujan, sementara saat ini terik matahari setia
memayungi Naldo.
Sudah
berkali-kali ia mencoba untuk membunyikan bel. Namun, tidak ada tanda-tanda
bahwa penghuninya berada di dalam rumah.
Tiba-tiba,
seseorang menepuk bahu Naldo.
”Cari
siapa, Nak?” seorang bapak tua berdiri
di belakang Naldo. Bahu kanannya terlihat memanggul cangkul sementara tangan
kirinya memegang karung beras bekas.
”Saya
mau cari Marissa, Pak.”
”Owh,
non Marissa.”
”Bapak
tahu??” sedikit asa tumbuh dalam hati Naldo.
”Kalau
bole tahu, adek ini siapa?”
”Saya
Naldo, Pak, teman kuliahnya Marissa.”
”Naldo?” si bapak tua mengulangi. Terdengar
seperti tidak yakin.
”Benar,
Pak. Marissanya ada di rumah, Pak?”
”Waduw,
nak Naldo terlambat. Non Marissa nya sudah pergi dari seminggu yang lalu tuh
bersama nyonya besar,” jawaban itu laksana petir di tengah terik mentari bagi
Naldo.
Diam.
Naldo hanya diam. Diam seribu bahasa. Setelah sesaat dan dapat menguasai
dirinya.
”Boleh
tahu pak dia kemana?”
”Wadhuw,
saya kurang begitu tahu tuh nak Naldo,” bapak tua terlihat sedikit bingung,
”tapi kalau tidak sealah, mereka ke luar negeri Nak.”
Asa
yang tadi semapt ada, kini layu sebelum berkembang.
”Tapi
kalau ade ini benar Naldo, non Marissa ada ninggalin kertas buat ade,” si pak
tua tiba-tiba mengingat sesuatu.
Pak
tua itu kemudian membuka gembok gerbang depan dan masuk ke dalam. Selanjutnya
ia membuka garasi rumah itu dan sesaat kemudian keluar dengan secarik kertas yang
berwarna merah muda berada dalam genggamannya.
”Kata
non Marissa, tolong kasih ini ke yang cowo bernama Naldo,” pak tua menyerahkan
kertas itu pada Naldo.
”Terima
kasih, Pak.”
Langkah
gontai menyertai Naldo meninggalkan rumah itu. Sesekali ia menoleh ke jendela
yang ada di sisi kiri rumah di tingkat dua. Jendela kamar dimana kekasih
hatinya pernah tinggal.
***
Pria
muda tadi, kini memandang ke arah luar apartemennya. Dari jendela terlihat
jelas hujan semakin deras sejalan dengan malam yang bertambah gelap. Pria itu
sejenak memejamkan matanya.
Di
tangannya buku yang sedari tadi dibaca, masih terbuka. Tapi ada yang berbeda.
Ada secarik kertas berwarna merah muda terlipat. Perlahan ia mengangkat kertas
itu dan membaca tulisan di buku.
13 Februari 2009
“Terjawab sudah semua pertanyaan hatiku tentang mamamu. Mamamu memang tidak bisa menerima hubungan kita. Dan kini kamu pergi begitu saja tanpa ada kabar. Bahkan aku tidak tahu kemana kamu pergi, Mar.Hm, kata orang, besok adalah hari kasih sayang. hari dimana kita menyatakan kasih pada orang yang benar-benar kita cintai. Tapi sekarang, bersama siapa aku harus merayakannya??? Terlebih bersama siapa aku lewati hari-hari di depan????Yang aku tahu sekarang, separuh jiwaku telah pergi.. Pergi bersama sepucuk surat darimu yang terlampir untukku.”
***
Naldo kini sudah tiba di
rumahnya. Lalu ia membuka kertas merah muda yang terlipat tiga itu. Tidak ada
tanggal. Tidak ada nama. Tapi ia mengenali wanita yang tulisannya terukir di
atas kertas tersebut.
Perlahan ia membacanya.
Dalam hati.
Semua hal di bumi ini
Tak semua dapat kita miliki
Kadang kita harus belajar
menerima dan merelakan
Karena tak ada keabadian di
bumi
Bila rasa tidak lagi ada
Bila cinta tidak lagi
bersemi
Lupakanlah jika itu sakit
bagimu
Kenanglah bila itu baik
untukmu
T’ruslah melangkah tanpa
melihat ke belakang
Ku yakin,
Kau akan menjadi lebih baik
dari sebelumnya…
Sekejap, tulisan itu selesai
dibaca. Jika memakai otak, tak butuh waktu lama memahaminya. Tapi, ketika hati
berbicara, waktu pun seakan tiada cukupnya.
Desahan nafas dihembuskan.
Naldo membatin, ”Mar, kamu emang romantis. Selama aku bersama kamu, bahkan pas
kamu pergi meninggalkan aku.”
Bulir air mata kini menetes.
Tangisan pertama Naldo semenjak ia terjatuh dari sepeda 13 tahun silam.
Bagaimana caranya kamu tahu aku bisa lebih baik dari sebelumnya jika kamu tidak disini, Mar?
Tolong beritahu aku. Beritahu aku cara menjadi lebih baik itu. Beritahu aku cara melangkah tanpa melihat padamu. Beritahu aku dimana kamu berada…”
***
....bersambung....
Comments
Post a Comment