".....membaca, menulis, berhitung bisa dimulai di tingkat TK, namun dengan cara bermain yang menarik sehingga anak tidak merasa terpaksa...."
Ruang berukuran 3x4 meter persegi itu
tampak meriah dengan berbagai ornamen yang menghiasi dindingnya. Ada deretan
pohon dan tanaman yang beraneka ragam. Ada pula iring-iringan mobil dengan
dengan beragam warna yang menarik hati. Tidak ketinggalan, karpet dari karet
berbentuk puzzle berwarna-warni mengalasi lantainya.
Di atas karpet tersebut, tampak belasan
anak berusia emat tahun-an duduk diam menyimak seorang guru yang sedang
berbicara. Di tangan kirinya, sang guru memegang sebuah buku dengan gambar
berukuran besar yang menarik. Sementara tangan kanannya sesekali menunjuk
gambar di buku itu seiring dengan cerita yang terucap dari mulutnya.
“Neville, ayo duduk. Sit down, please!” cerita guru itu terpotong ketika seorang anak
berjalan menghampirinya. Gambar boneka kayu dengan hidung panjang yang ada di
buku terlalu menarik bagi Neville,
membuatnya tak bisa duduk tenang.
Tampak pula seorang guru lain menghampiri
anak lelaki ini dan membimbingnya kembali ke tempat duduknya. Cerita pun
kembali mengalir. Sesekali dengan bahasa Inggris, yang diikuti bahasa
Indonesia.
Tepat di sebelah ruangan tersebut, dimana
tergantung papan berukir tulisan TK-B, beberapa anak tampak melakukan beragam
aktivitas. Ada yang duduk diam dan tekun berkutat dengan pensil serta kertas di
hadapannya, namun tidak sedikit pula yang bermain-main dengan kawan sebayanya.
Suasana di atas lumrah dijumpai di berbagai
taman kanak-kanak (TK) yang kini semakin mudah ditemui, khususnya di wilayah
ibu kota Jakarta. Selain menjadi tempat bermain, TK menjadi wadah untuk
mempersiapkan anak memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar.
Ya, memiliki buah hati yang dapat membaca
dan berhitung sejak usia dini, tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap
orang tua. Tidak heran, banyak orangtua yang berlomba-lomba memasukkan anak
balitanya ke TK yang berkualitas. Bahkan tidak sedikit yang sudah mengikutsertakan
anaknya ke les-les informal yang berkaitan dengan keterampilan lingual
(bahasa), maupun yang bersifat akademis lainnya sejak usia dini.
Namun, memasukkan unsur membaca, menulis,
dan berhitung (calistung) pada jenjang pendidikan TK sebenarnya tidak tepat.
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Ditjen PNFI Kemendiknas, Sudjarwo,
pada pertengahan Juli 2011 menyampaikan, pelajaran calistung pada usia dini
berpotensi menghambat perkembangan mental anak. Oleh karena itu, sebaiknya
orangtua memilih sekolah yang tidak mengajarkan calistung kepada anak-anak.
Dilematis
Bagi pihak sekolah, larangan mengajar
calistung di jenjang TK malah menghadirkan dilema tersendiri. Hal ini tidak
lepas dari banyaknya sekolah dasar (SD) yang menjadikan calistung sebagai salah
satu aspek penilaian dalam ujian saringan masuk. Selain itu, anak SD diharapkan
sudah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik untuk bisa mengikuti
pendidikan yang diberikan.
Di sisi lain, banyak orang tua yang
menganggap kemampuan calistung sebagai tolok ukur kepandaian anak, sehingga
mereka malah menuntut pihak sekolah untuk memasukkan calistung sebagai bahan
pelajaran. Menanggapi hal ini, beberapa TK di Jakarta mengajarkan calistung
dengan menggunakan metode yang menarik
sehingga tidak menjadi suatu beban dan paksaan bagi si anak.
“Sistem pembelajaran di sini adalah bermain
sambil belajar. Jadi ada beberapa item yang diajarkan di sini, seperti
pembiasaan yang meliputi kedisiplinan, taat pada peraturan dan kemandirian,”
papar Florentina, Wakil Kepala Sekolah TK Don Bosco I, Kelapa Gading, Jakarta
Utara, kepada penulis baru-baru ini.
Menurut dia, jika calistung diajarkan di TK
seperti porsi yang diberikan di SD, hal tersebut salah besar. Untuk jenjang TK,
hal tersebut seharusnya dibawakan dengan cara bermain sehingga tidak memaksa
anak. “Jika anak TK harus duduk manis, belajar 3+3, ini tidak bisa,”
sambungnya. Tetapi jika materi pelajaran dibawakan dengan cara bermain, maka si
anak tidak merasa sedang belajar. Selain itu, metode ini dapat meningkatkan daya serap dan daya
ingat si anak.
Untuk materi membaca, misalnya, anak-anak
tidak diajarkan membaca secara langsung seperti layaknya anak SD, melainkan
dengan memanfaatkan berbagai medium pembantu seperti kartu kata yang disertai
gambar, sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu si anak. Menurut Florentina, hal
ini untuk mengimbangi perkembangan jaman seperti tayangan televisi dan
internet, yang membuat anak sekarang bersikap kritis dan punya rasa ingin tahu
yang tinggi. “Kalau jawaban guru dirasa tidak memuaskan, si anak akan mengejar
terus,” terang Florentina.
TK Fransiskus I di kawasan Kramat, Jakarta
Pusat juga berusaha mengedepankan metode bermain sambil belajar. Melalui
permainan, anak-anak diharapkan dapat mengembangkan ketelitian, rasa tanggung
jawab dan belajar dari pengalaman. Suster Vita, Kepala Sekolah TK Fransiskus I,
ketika ditemui penulis, Selasa (16/8)
siang, menjelaskan bahwa kemampuan calistung sudah bisa dimulai di tingkat
paling awal, yakni kelompok bermain (KB). Namun pada tahap ini, calistung yang
diberikan baru merupakan pengenalan terhadap huruf dan angka yang sederhana.
Proses pengenalan yang diberikan juga menggunakan metode yang menarik dan
menyenangkan seperti melalui gambar, diikuti dengan kegiatan yang menarik
seperti mewarnai dan menggambar.
Pada jenjang TK-A dan TK-B, anak mulai
belajar menulis dan menghitung. Seperti di KB, materi membaca, menulis dan
menghitung untuk TK-A dan TK-B juga dibawakan dengan menyenangkan dan tidak
memaksa. Oleh karena itu, semua buku selalu disertai gambar yang menarik.
Pembelajaran yang diberikan juga bersifat berjenjang dan mengikuti pertumbuhan
si anak.
Sementara
itu, Elizabeth, guru yang sudah 30 tahun mengajar di TK Fransiskus I, mengatakan metode pembelajaran yang dibawakan lebih bersifat mengenalkan.
“Pertama-tama anak dikenalkan dengan huruf, lalu suku kata, selanjutnya kata,
kemudian membuat kalimat sederhana,” ujarnya.
Sistem pengajarannya juga tidak
melalui tulisan, melainkan menggunakan metode yang menarik seperti menebalkan
huruf. Metode seperti ini justru berhasil menarik minat dari sang anak.
Anak-anak terlihat lebih antusias dalam proses belajar. Selain itu, dalam mengajar guru juga dilengkapi media bermain seperti balok, puzzle, gelang-gelangan, dan bentuk
permainan lain yang juga sekaligus menjadi media belajar bagi anak.
-artikel ini ditulis tahun 2011, dan dimuat pula di Harian Sinar Harapan-
Comments
Post a Comment