Sudah saatnya kini kita lebih menaruh kepercayaan dan hormat yang tulus pada kesadaran serta kerinduan akan kemerdekaan sejati yang sedang tumbuh dalam sanubari sebagian besar rakyat kecil di tanah air kita, kaum pinggiran yang saya yakin telah memberikan andil pengorbanan diri paling besar bagi kesejahteraan hidup masyarakat bangsa kita sejauh ini.
-Ignatius Sandyawan Sumardi-
Menempati sebuah rumah semi
permanen di Jalan Bukit Duri I (Dipo), Kecamatan
Jatinegara, Jakarta Timur, Sanggar Ciliwung Merdeka tampak menjulang diantara
rumah-rumah lainnya. Pada bagian depan bangunan dua lantai tersebut, berdiri sebuah pondok
kecil yang terpisah. Pondok yang berfungsi sebagai perpustakaan kecil itu diisi
berbagai jenis buku yang ditempatkan pada rak-rak sederhana.
“Awalnya saya hanya mau tinggal saja
disini. Semacam pensiun dari Direktur Eksekutif Institut Sosial Jakarta dan
Sekjen Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Tapi ya, saya kan senang dengan
anak-anak, saya bikinin perpustakaan,
lama-lama kenal dengan para orangtua. Sekarang, total sudah ada tujuh komunitas
disini,” papar I. Sandyawan Sumardi, atau akrab disapa Romo Sandy, pelopor
berdirinya sanggar tersebut tahun 2000 silam.
Perpustakaan bukanlah sumbangsih
satu-satunya Sanggar Ciliwung bagi warga Bukit Duri. Melalui pendekatan dan
relasi yang dibangun, kini kawasan tersebut terlihat lebih ceria dengan deretan
rumah berlabur cat warna-warni. Di satu dua rumah warga, tampak pula usaha
penghijauan kecil-kecilan dengan menanam pepohonan di dalam pot.
Tidak hanya itu,
beberapa rumah warga dihiasi goresan mural beraneka bentuk hasil karya kaum
muda setempat. Sejenak, warga dan pendatang diajak melupakan keberadaan kampung
Bukit Duri yang merupakan salah satu
daerah langganan banjir karena terletak persis di bantaran Sungai Ciliwung.
Selain perpustakaan, Sanggar Ciliwung juga
menyediakan pelayanan kesehatan berupa klinik setiap hari Selasa, Kamis, Sabtu,
dan Minggu. Klinik yang dijalankan secara sukarela ini didukung beberapa orang
relawan dokter, yang meliputi pelayanan dokter umum, dokter gigi, dan obat-obatan.
“Jadi mereka iuran, dua ribu, kadang mereka
ngga ada ya ngga dipaksa. Yang penting ada solidaritas untuk beli obat,” ujar
Lestari, Koordinator Humas Internal di Sanggar Ciliwung.
Selain dilayani oleh dokter, klinik
kesehatan juga mengadakan penyuluhan dan pelatihan terkait kesehatan setiap
harinya. Mereka juga menjalan program dokter kecil bagi anak-anak yang berusia
di bawah 12 tahun. Dalam prakteknya, anak-anak usia dini ini diperkenalkan
mengenai P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) serta mengatasi pendarahan.
Handoko (13), siswa kelas 2 sekolah
menengah pertama mengaku ia memperoleh banyak manfaat melalui keberadaan sanggar ini.
Bergabung sejak usia 9 tahun, ia bisa belajar gambar, matematika, memainkan biola, alat musik jembe, hingga
mendongeng dan menjadi dokter kecil.
“Dengan belajar di sanggar, dari ngga tahu menjadi tahu, dari ngga bisa menjadi bisa,” ujarnya dengan
senyum yang mengembang.
Melawan
Stigma
Semangat kemerdekaan yang berusaha dibangun
melalui Sanggar Ciliwung Merdeka secara perlahan ditularkan kepada warga sekitar yang
didominasi kaum pinggiran. Menerobos stigma sebagai golongan tidak
berpunya, warga Bukit Duri ternyata menjadi pionir dalam memberi bantuan
kemanusiaan tatkala terjadi bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun 2004, serta
tragedi bom di Jakarta dan Bali.
Melalui Jaringan Relawan Kemanusiaan yang
juga digerakkan oleh Romo Sandy, warga setiap rukun tetangga (RT) di Bukit Duri
giat mengumpulkan sumbangan. Ada yang bisa mengumpulkan 530 ribu rupiah, ada
pula yang mengumpulkan hingga 620 ribu rupiah. Secara nominal, memang tidak seberapa untuk ukuran
perkotaan. Tetapi, aksi ini seakan ingin mematahkan stigma bahwa mereka hanyalah kaum yang berdiam menunggu datangnya bantuan.
“Saya jadi malu, Romo. Kami selama ini
begitu banyak menuntut ini dan itu. Padahal, kami ini disumbang oleh saudara-saudara yang
juga susah,” kata Joni, salah seorang korban tsunami di Kuala Tuha, Aceh,
ketika ia berkunjung ke kampung Bukit Duri, seperti ditirukan Romo Sandy.
Warga juga terus berjuang bersama
komunitasnya dengan mendirikan berbagai unit usaha masyarakat. Pada jenjang RT, warga mendirikan
koperasi yang mengumpulkan iuran bagi warga yang sakit dan meninggal. Warga secara
bersama-sama juga berupaya membuat penghijauan bagi lingkungan sekitar tempat tinggal mereka.
Selain itu, ada pula usaha pengelolaan
sampah organik menjadi pupuk kompos. Bahkan, pada tahun 2008 telah dibangun pusat
pengelolaan pupuk kompos secara swadaya, yang kapasitasnya mencapai 10-15 ton
pupuk setiap bulannya. Namun, untuk yang satu ini, minimnya sampah organik
menjadi kendala. Padahal, mereka sempat menerima pesanan dari salah satu
lapangan golf besar di Jakarta.
Beberapa waktu yang lalu, usaha pembuatan
tas milik warga juga sempat memperoleh bantuan dari The Body Shop untuk
dipasarkan di Bali. Mereka juga memperoleh bantuan berupa beberapa mesin jahit. Kerjasama
ini secara tidak langsung menuntut warga untuk mengedepankan kualitas karena
produk mereka dipasarkan pada kalangan menengah ke atas.
Daya
Juang Kaum Pinggiran
Selain bidang ekonomi dan pendidikan,
sanggar juga menjadi penggerak bagi perkembangan seni dan budaya di kampung
Bukit Duri. Pada tahun 2007, mereka menyelenggarakan Festival Budaya Anak
Pinggiran Ciliwung Merdeka, yang diikuti lebih dari 35 komunitas “pinggiran”
se-Jabotabek selama 3 hari di Taman Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat.
Bulan Juli setahun silam, mereka juga menggelar pementasan
budaya berupa Teater Musikal Ciliwung Merdeka yang bertajuk Ciliwung Larung di
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Seluruh pemain dalam teater musikal
yang berjumlah 75 orang ini tidak lain merupakan anak-anak, remaja, dan warga
Bukit Duri dan Kampung Pulo.
Semua hal ini, menurut Romo Sandy, ingin
mengingatkan pemerintah agar tidak melupakan perjuangan dan pengorbanan yang
diberikan oleh warga pinggiran. Selama ini, pemerintah hanya memandang warga
kelas menengah dan kelas atas sebagai sumber perubahan. Padahal, mereka yang
menjadi korban sebenarnya berpotensi paling besar sebagai agen perubahan.
“Kalau mereka ngga berubah, mereka mati. Kan
orang ngga ada yang mau mati.
Makanya, mereka mendorong perubahan,” lanjut Romo Sandy.
Melalui berbagai langkah yang digerakkan
dan difasilitasi Sanggar Ciliwung Merdeka, ia bertujuan agar warga dan
lingkungan pinggiran sungguh dapat merdeka dari berbagai belenggu pemiskinan
serta ketidakadilan. Dengan begitu, komunitas kemanusiaan di sepanjang bantaran
sungai Ciliwung dapat lebih diberdayakan martabat dan haknya melalui berbagai
bentuk ikhtiar survival system proses
pendidikan alternatif-kreatif yang diselenggarakan bersama, penuh kesadaran
kritis, solidaritas-partisipatif, mandiri-otentik, bebas-otonom, dan
berkelanjutan.
Comments
Post a Comment