Skip to main content

CHAPTER IV, DEKAT DAN SEMAKIN DEKAT




Mata pria muda di apartemen itu kembali jatuh pada halaman buku di tangannya.  Terasa ada perbedaan suasana di dalam sana. Ia tidak lagi membahas Marissa, sebagai musuhnya. Bagi dia, Marissa itu seorang teman. 

18 Desember 2008

“Tujuh hari sebelum Natal. Gue ketemuan lagi dengan Marissa. Kali ini kami benar-benar bertemu untuk mengerjakan presentasi sosio kami. Janjian untuk mengerjakan di kampus sepulang sekolah, kami akhirnya bertemu dalam perpus kampus yang cukup lengang di sore hari itu.
Hari itu, kami udah ga saling melemparkan kalimat-kalimat dengan nada tinggi yang mencekik tenggorokan. Sebaliknya, canda tawa banyak mengisi diskusi kami terkait tugas sosio kami.
Dan lagi, senyum Marissa terlihat berbeda, padahal ini bukan kali pertama gue melihat ia tersenyum. Sejenak munculah bayangan indah antara gue dan dia. Namun, mengingat kejadian yang sempat gue alami di rumahnya, kulemparkan jauh-jauh sekelebat pikiran yang sempat meledak dalam pikiranku.
Tak terasa sudah 60% tugas kami rampung. Matahari yang semakin condong ke barat memanggil Marissa untuk pulang hari itu. Sembari menanti mobilnya datang, kami kembali mengobrol di lobby kampus. Dan entah kenapa, hati ini terasa begitu lapang saat kaki melangkah pulang.”

***

Hari itu, kalendar yang tergantung di kamar Naldo menunjukkan hari Minggu, tepatnya tanggal 21 Desember 2008. Kamar Naldo tampak lengang di pagi itu, padahal jam berbentuk bola sepak di kamarnya baru menunjukkan pukul 09.00. Kemanakah sang pemilik ruangan itu?
Hanya ada suara jarum yang berdetak saat terdengar suara pintu terbuka. Naldo muncul, pakaiannya tampak begitu rapi. Kemeja lengan pendek motif kotak-kotak dipadukan dengan jeans berwarna biru gelap. Tidak ketinggalan sepatu kets berwarna putih yang khusus disimpannya untuk digunakan seminggu sekali, berbeda dengan sepatu kuliahnya yang sudah tampak agak kumal. Sementara, di tangannya ia mengenggam alkitab. Ya, tentu saja. Ia baru saja kembali dari gereja.
Tapi, wajah Naldo terlihat tidak secerah kemeja warna biru muda yang dikenakan. Memang ia tidak nampak seperti pepaya masam. Tapi tampaknya beban pikiran menggantung dalam pikirannya.
Pagi tadi, ia bertemu dengan Marissa yang memang satu gereja dengan dirinya. Dan pertemuan itu nyaris menjadikan pagi itu lebih cerah dari pagi manapun, andai saja tidak ada pandangan tajam dari mama Marissa  kepada dirinya.
Memang Marissa sudah meyakinkan Naldo bahwa bundanya itu hanya overprotektif, tapi bagi Naldo. Tatapan itu memiliki arti lain.
Langkah gontai mengantarkan Naldo tiba di tepi ranjangnya. Ia terduduk disisi ranjang sembari angannya bermain-main. Sekelebat pikiran tentang dirinya dan Marissa, yang dulu pernah terlintas, kini muncul kembali.
Kali ini, pikiran itu tidak serta merta dibuang oleh Naldo. Hanya sebuah senyum yang menjelaskan apa isi pikirannya kala itu.

***

Naldo masih terlelap di dalam tidurnya kala telepon bimbitnya bergetar. Dengan enggan ia berusaha meraih handphone tipe jadul-nya itu dengan tangannya. Akhirnya, setelah berjuang, ia kembali berbaring telentang di atas kasurnya.
Hr ni mw ktmuan g? begitu tertera di layar hape-nya. Naldo masih berpikir siapa gerangan itu hingga ia melihat nama yang membuatnya terloncat dari atas ranjang. Marissa.
Ok. Jm brp? tidak butuh waktu lama bagi Naldo untuk segera mengirim pesan balasan bagi Marissa.
jm 12 gmn? Skalian mkn siang?
Yuph, satu kata dikirimkan oleh Naldo yang kemudian dengan segera menyambar handuknya untuk mandi.
10 menit kemudian, Naldo sudah ada di depan almarinya. Sudah banyak baju yang ia lempar ke atas ranjangnya. Tapi belum pula ditemukan baju yang berkenan.
Kembali ia melihat pakaiannya satu persatu. hingga akhirnya pilihannya jatuh pada kaos berkerah dengan lengan panjang berwarna putih.
Seteleh memastikan notebook-nya sudah ada dalam tas, Naldo bersiap memakai sepatunya. Pagi itu, bukanlah hari Minggu, namun, ia mengeluarkan sepatu putihnya yang spesial. Pikirnya, aku akan bertemu dengan orang spesial pula.
Kini Naldo siap untuk bertemu dengan Marissa.

***

SMS masih tidak begitu ramai siang hari itu. Hanya beberapa meja yang nampak terisi, sementara banyak meja lainnya masih kosong.
U ud dmn, pesan teks masuk tepat saat Naldo memasuki area downtown.
Bru aj nympe. Ini ad d dpn Wendys.
Owh, gw d dpn pizza ya, sms terakhir dari Marissa membuat Naldo mempercepat langkahnya.
”Hai, maaf ya nunggu,” Naldo menyapa Marissa yang siang itu ternyata juga mengenakan kaos warna putih dengan paduan celana jeans pendek.
”Gak juga kok, ini juga baru nyampe. Cuma tadi aja turun di depan Coffe Bean,” jawab Marissa yang hari itu sungguh terlihat berbeda di mata Naldo.
”Kita mau buat dimana nih?” Naldo buru-buru menyingkirkan pikirannya dan mengganti dengan tugasnya.
”Temenin gue makan dulu yuk,” Marissa meminta Naldo sembari menarik tangan Naldo.
Naldo yang terkejut hanya bisa diam untuk sementara, ”Eh, mank mau makan apa?”
”Makan di foodcourt aja gimana?” Marissa memberikan idenya.
”Terserah,” ujar Naldo yang masih tidak percaya tadi tangannya ditarik oleh Marissa.
Setengah jam dihabiskan siang itu untuk makan. Sebelum akhirnya mereka menyelesaikan tugas bersama-sama. Tidak terasa, jam di tangan Marissa menunjukkan pukul tiga sore. Canda tawa yang mengiringi selama mengerjakan bersama menjadikan waktu berlalu dengan cepat.
”Ahhh, akhirnya selesai,” Marissa mengangkat kedua tanganya layaknya seorang pemenang lomba, ”Yeey, liburan ga ada tugas lagi.”
Naldo yang menyaksikan hal itu hanya tersenyum.
”Nald, sekarang lu mau kemana?” Marissa tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan Naldo sebelumnya, ”Mau nonton ga?”
”Hah? Nonton?” Naldo terkesiap.
”Iya, gue baru dijemput sore nanti, gimana kalo lu nemenin gue?” Marissa tersenyum penuh harap.
Pikiran kini berkecamuk dalam benak Naldo. Ia sungguh tak menyangka hal ini bisa terjadi.
”Ya, bole aja sih, gue juga ga ad kerjaan.”
Akhirnya, jadilah dua orang itu berjalan beriringan ke bioskop XXI yang ada di lantai 3 mal SMS. Bahkan, mereka juga membeli popcorn untuk dinikmati bersama dan juga minuman di café yang ada di bioskop tersebut.
Dari luar, orang memang bisa menebak apa saja. Tapi hanya mereka berdua saja yang tahu isi hatinya masing-masing.

***

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...