Skip to main content

Cerita Dari Balik Kemudi


ANGKUTAN UMUM DI KOTA METROPOLITAN
ilustrasi: mikrolet
Jakarta, Perkembangan Sebuah Metropolitan
Jakarta atau juga dikenal sebagai Provinsi DKI Jakarta adalah kota provinsi yang terletak di utara Pulau Jawa. Berdasarkan letak geografisnya, Jakarta berbatasan langsung dengan dua provinsi lainnya, yaitu Banten dan Jawa Barat. Merilis data yang dikeluarkan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta pada Januari 2009, Jakarta memiliki luas sekitar 740 km² dan penduduknya berjumlah 8.489.910 jiwa.
Kota Jakarta sebagai sebuah kota mandiri memiliki sejarah yang amat panjang. Kota ini telah berkembang sejak abad ke-16, dan pada masa itu dikenal dengan nama Kalapa.[1] Pada masa tersebut, Jakarta telah menjadi pusat berbagai kegiatan, baik itu yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, hingga kebudayaan. Pemusatan itu salah satunya dipengaruhi oleh letak Jakarta yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sehingga menjadi tempat transit bagi perdagangan rempah-rempah antar benua. Peran sebagai tempat transit inilah yang menjadikan Jakarta banyak dikunjungi orang dari berbagai negara sehingga mendorong pertumbuhan kota yang melebihi kota-kota lainnya di Pulau Jawa yang tidak menjadi tempat transit. Dan, bertolak dari pertumbuhan Jakarta sejak abad tersebut, Jakarta terus dan terus mengalami perkembangan dan perubahan serta pertumbuhan tiada henti hingga sekarang ini.
Saat ini, Kota Jakarta telah menjadi salah satu kota besar di Indonesia sekaligus menjadi Ibukota dari Negara Republik Indonesia. Selain itu, bersama dengan Tanggerang, Bogor, Bekasi serta Depok, Jakarta telah berevolusi menjadi sebuah kota metropolitan Jabodetabek. Secara keseluruhan, Jabodetabek ini memiliki penduduk sekitar 26 juta jiwa,[2] serta merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia. Kini wilayah Jabodetabek juga telah terintegrasi dengan wilayah Bandung Raya, di mana megapolis Jabotabek-Bandung Raya mencakup sekitar 30 juta jiwa, yang menempatkan wilayah megapolis ini di urutan kedua dunia, setelah megapolis Tokyo, Jepang.
Namun, berbicara tentang sebuah kota metropolitan tidak hanya berkaitan dengan luas maupun jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Daerah Ir Ali Wongso H Sinaga, yang juga mantan Ketua Komisi D (bidang pembangunan) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI, ada beberapa kriteria utama agar sebuah kota bisa dikatakan sebagai sebuah metropolitan yakni taman, tangkapan air, udara, jalan, air minum, dan angkutan umum.[3]
Terkait dengan poin-poin inilah, Jakarta sebagai Ibukota negara memiliki konsekuensi peningkatan pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya bidang perhubungan khususnya transportasi darat.[4] Karena, dengan melaksanakan pembangunan dalam sektor perhubungan darat tersebut, maka secara tidak langsung akselerasi pembangunan di bidang lainnya akan dapat dicapai dengan lebih mudah karena ketersediaan sarana yang dibutuhkan, dalam hal ini transportasi. Selain itu, pembangunan di sektor ini juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat terkait akan kemudahan, kenyamanan, dan keamanan yang bisa didapatkan masyarakat dalam bidang tranportasi.

Transportasi Massa Perkotaan Dari Tahun Ke Tahun[5]
Selepas kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, maka Indonesia layaknya negara-negara lainnya juga melakukan pembangunan di segala bidang guna meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Dan salah satu sektor  yang juga tersentuh pada masa itu adalah sektor transportasi dan perhubungan, khususnya di lingkungan perkotaan. Hanya saja, pembangunan yang dicapai pada tahap awal tersebut, yakni antara tahun 1945 hingga 1968, masih merupakan pembangunan yang terbatas dan dikerjakan secara tidak berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya.
Melewati masa tersebut, maka sejak tahun 1968, melalui Pembangunan Lima Tahun Pertama (PELITA I) pembangunan yang dikerjakan pemerintah mulai dijalankan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.[6] Menilik pada kebutuhan transportasi perkotaan, maka pemerintah lebih memfokuskan pembangunan kepada penyediaan moda transportasi darat.
Transportasi darat pertama yang disediakan pemerintah untuk menjadi sarana transportasi umum di jalan-jalan ibukota adalah trem. Kendaraan ini memiliki bentuk seperti gerbong kereta tunggal dan menggunakan listrik sebagai penggeraknya. Beberapa trem saat itu juga masih menggunakan tenaga kuda sebagai penarik gerbong penumpangnya.
Berbeda dengan sekarang, dimana kegiatan aktivitas masyarakat telah tersebar di seluruh penjuru kota Jakarta, saat itu aktivitas masyarakat masih terpusat di daerah kota tua sehingga moda  transportasi yang ada masih dikonsentrasikan di daerah tersebut. Sebagai gambaran, rute trem yang dioperasikan adalah rute yang menghubungkan pasar yang satu dengan pasar lainnya: dari Beos atau Stasiun Kota-Pasar Glodok-Hayam Wuruk-Sawah Besar-Gunugn Sahari-Kalilio-Pasar Senen-Kramat-Salemba-Matraman-Jatinegara-Kampung Melayu dan kembali ke Beos.[7]
Selanjutnya pada tahun 1951,  setelah terbit Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 7 yang membuka cakrawala angkutan penumpang dan barang menggunakan kendaraan bermotor, maka perkembangan sarana lalu lintas mulai berkembang lebih luas.
Moda transportasi pertama saat itu yang menggunakan kendaraan bermotor  adalah mobil dengan merek Austin. Lalu, sekitar tahun 1959 munculah moda transportasi lain yang disebut oplet. Moda transportasi yang mirip dengan mikrolet pada masa kini tersebut memiliki kapasitas 10 orang penumpang. Adapun nama oplet itu sendiri merupakan akronim dari kata open yang berarti buka dengan kata cabriolet  yang berarti tutup terpal. Nama ini terkait dengan penggunaan terpal sebagai penutup tempat penumpang duduk yang berfungsi untuk menghalau panas dan hujan.
Berlanjut kemudian di tahun 1962, penduduk Jakarta kembali menikmati moda angkutan baru yang disebut bemo. Bemo merupakan kepanjangan dari becak motor. Berbeda dengan oplet yang beroda 4, bemo hanya memiliki 3 roda seperti layaknya sebuah becak. Selain itu, kapasitas yang dimiliki bemo juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan oplet. Sebuah bemo hanya dapat mengangkut 7 orang penumpang. Sampai saat ini, keberadaan bemo itu sendiri masih dapat ditemui di daerah Pademangan dan Ampera di Jakarta Utara walaupun mendapat tentangan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena menghasilkan polusi yang cukup besar.
Tak hanya itu, di waktu yang hampir bersaman dengan bemo, hadir pula IKARUS. Ikarus adalah sebutan untuk sebuah bus berbadan besar yang diambil dari merek mobil tersebut. Kehadiran Ikarus dan bemo tersebut akhirnya memberikan persaingan besar kepada oplet terkait dengan kenyamanan, kecepatan dan tarif yang harus dibayarkan.[8]
Lalu, pada tahun 1966-1967, dibawah pimpinan Gubernur Ali Sadikin, wajah Jakarta mulai berubah secara total. Pembangunan infrastruktur dilakukan secara besar-besaran dan tak ketinggalan sektor angkutan juga turut ditata.hasilnya, pada masa itu, tepatnya di tahun 1967, mulailah beroperasi angkutan yang berasal dari Australia yang disebut “ROBUR”. Angkutan ini secara umum memiliki bentuk seperti Kopaja atau Metro Mini.
Perkembangan moda transportasi yang berlangsung secara terus menerus akhirnya menjadikan oplet tersingkir dari persaingan berbagai moda transportasi. Beberapa faktornya adalah kerapuhan kendaraan yang disebabkan oleh usia yang semakin tua dan juga kebijakan penghapusan trem untuk digantikan oleh bus PPD dan dipuncaki dengan kebijakan untuk melarang penambahan jumlah oplet.
Keadaan itu mencapai puncak pada tahun 1980, saat pemerintah berketetapan untuk menghapuskan keberadaan oplet di Jakarta karena kondisinya yang tidak lagi memungkinkan untuk menjadi sarana transportasi umum.[9] Dan bersamaan dengan itu, maka pemerintah menetapkan Mikrolet sebagai sarana transportasi pengganti oplet dengan tujuan untuk memberikan pelayanan angkutan yang lebih baik lagi bagi masyarakat dan juga untuk efisiensi penggunaan jalan. Kebijakan ini dinyatakan dalam Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 673 tahun 1980 tentang Ketentuan Pengusahaan Mikrolet untuk Angkutan Penumpang Umum Pengganti Oplet Dalam Wilayah DKI Jakarta. Sehingga, bersamaan dengan keputusan Gubernur No. 673 itulah, maka berakhirlah masa-masa kejayaan oplet sebagai moda angkutan ibukota dan harus rela digantikan oleh mikrolet yang lebih modern.

Seluk Beluk Trayek Mikrolet M-30A
Pasca kebijakan gubernur tersebut, mikrolet kemudian menjelma menjadi salah satu moda transportasi yang dapat ditemui di seluruh penjuru kota. Mulai dari pusat kota hingga ke daerah pinggiran.
Salah satu rute yang dilayani oleh keberadaan moda transportasi ini adalah rute antara Terminal Pulo Gadung dan Terminal Tanjung Priok, dimana mikrolet yang melayani, diberikan nomor trayek M-30A. Rute itu sendiri melewati:Pulo Gadung-Jalan Bekasi Timur- Boulevard Kelapa Gading-Yos Sudarso-Terminal Tanjung Priok.
Namun, walaupun melayani rute antara Pulo Gadung dan Tanjung Priok, mikrolet M-30A ternyata tidak pernah lagi memasuki Terminal Pulo Gadung sebagai tujuan akhirnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa salah satu sebab dari hal tersebut adalah perselisihan pernah terjadi antara supir M-30A dengan supir mikrolet yang berlainan trayek sehingga menyebabkan mikrolet M-30A memutuskan untuk pindah dan tidak lagi mencari penumpang di dalam Terminal Pulo Gadung.
Selain fakta perpindahan tempat yang dilakukan oleh mikrolet M-30A, hal lain yang menarik adalah soal penumpang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, rute ini memiliki ciri khas tertentu dimana para supir memiliki waktu  dan tempat khusus dalam menunggu penumpang. Dari pengakuan seorang supir yang bernama Ameng,[10] konsentrasi penumpang M-30A biasanya mencapai puncak pada pagi hari sekitar pk.07.00 hingga pk. 09.00 dan sore hari sekitar pk. 17.00 hingga pk. 19.00, dimana pada waktu-waktu tersebut banyak pekerja yang baru saja berangkat maupun pulang dari tempat kerjanya. Sedangkan, untuk siang hari penumpang mayoritas adalah para siswa sekolah dan ada juga sebagian pekerja yang mendapatkan shift kerja pada siang hingga malam.
Ciri khas dari rute ini terbentuk karena perkembangan dan kemajuan yang cukup pesat di daerah Sentra Kelapa Gading. Menurut supir lainnya yang bernama Ferry, penumpang terbanyak yang memanfaatkan M-30A adalah mereka yang bekerja di lingkungan Summarecon Mal Kelapa Gading. Pada pagi hari, banyak penumpang, baik dari Pulo Gadung maupun Tanjung Priok akan menuju ke Mal Kelapa Gading untuk bekerja. Sebaliknya, pada sore menjelang malam hari, penumpang yang banyak akan terbagi dua, ada yang menuju ke Pulo Gadung dan ada pula yang menuju ke Tanjung Priok.
Sehubungan dengan kepadatan penumpang pada jam-jam tertentu itulah, kadangkala penulis dapat menjumpai para penumpang yang rela bergelantungan agar dapat terangkut dan tidak perlu menunggu lama. Biasanya penumpang bergelantungan ketika mikrolet sedang melewati rute perumahan dan bukan di jalan besar seperti Yos Sudarso, walaupun hal itu masih dapat ditemukan.
Fakta lain yang berkaitan pula dengan mikrolet M-30A ini adalah latar belakang supir. Dimana melalui pendekatan yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa profesi supir ini merupakan opsi yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh beberapa orang. Sebagian dari mereka menjadi supir karena keterbatasan yang dimiliki. Keterbatasan tersebut salah satunya adalah tingkat pendidikan yang dimiliki, dimana sebagian dari mereka adalah orang-orang yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi seperti perguruan atau universitas sehingga peluang untuk bekerja di sektor formal hampir tertutup. Selain itu ada pula mereka yang sempat menikmati bekerja di sektor formal, namun, ternyata kondisi menyebabkan mereka tidak dapat melanjutkannya karena mereka harus berhenti atau di-phk.
 Ambil contoh, Ferry,[11] supir yang berasal dari Palembang, Sumatra Selatan ini ternyata pernah beberapa kali bekerja di sektor formal, baik itu sebagai buruh pabrik, maupun sebagai karyawan di suatu perusahaan swasta dari Perancis yang bergerak di bidang elektronika. Ia mengatakan bahwa sebenarnya ia terpaksa menjadi supir karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lagi setelah ia di-phk sekitar 3 tahun yang lalu. “Saya punya istri dan anak yang harus dikasih makan, jadi terpaksa jadi supir,” begitu penjelasannya lebih lanjut.

Kebijakan Pemerintah Versus Keseharian Supir [12]
Dalam keseharian yang dilalui setiap supir M-30A, mereka tidak saja diperhadapkan kepada kebutuhan-kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhi, seperti kebutuhan keluarga, biaya makan, biaya pendidikan bagi anak, dan pengeluaran-pengeluaran lainnya. Dalam menjalankan profesi ini, mereka juga harus menghadapi tekanan-tekanan yang berasal dari luar. Tekanan itu adalah diskriminasi kebijakan oleh pemerintah yang sebgian besar hanya memanfaatkan (baca:memeras) mereka.[13] Beberapa hal yang dapat dikelompokkan sebagai tekanan adalah:
1.    Pelaksanaan kebijakan lalu-lintas di DKI Jakarta
Persoalan utama perihal kebijakan lalu-lintas di DKI Jakarta yang harus disoroti adalah pengadaan angkutan umum massal. Dimana berdasarkan rule of thumb, kota yang memiliki jumlah penduduk satu hingga 2 juta jiwa seharusnya memiliki sarana ini.[14] Tentu saja amat ironis bagi Jakarta, yang telah disesaki oleh sekitar 10 juta penduduk, namun baru dilengkapi dengan sarana jalur bus khusus Transjakarta. Dimana sarana transportasi massal ini ternyata belumlah menjadi jawaban atas kemacetan, walau terus mencatatkan kenaikan jumlah penumpang setiap tahunnya. Malahan, Transjakarta ini terus menerus mencatatkan penurunan kualitas serta performa dan membutuhkan banyak perbaikan untuk mewujudkannya menjadi angkutan umum yang menusiawi, nyaman, aman, dan ramah lingkungan.[15] Kebijakan lain yang dipertanyakan adalah penyediaan fasilitas jalan tol yang terus dilakukan. Padahal, diketahui bahwa jalan tol adalah area jalan yang diperuntukkan untuk kendaraaan pribadi dan bukan untuk kendaraan umum. Sehingga jalan tol bukanlah solusi jangka panjang bagi penyelesaian masalah kemacetan di kota ini. Bahkan menurut Sayogo Hendro Subroto, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta,[16] pola angkutan umum di Jakarta cenderung tambal sulam.Ada kesan hanya main coba-coba, perencanaan tidak disiapkan secara matang dan langsung main uji coba,” demikian komentar Sayogo lebih lanjut.
2.    Beban Proses Perijinan
Selain berbagai rambu yang secara tidak langsung bersifat merugikan supir angkutan, tekanan lain yang juga turut membebani supir adalah masalah perijinan. Dari sisi supir itu sendiri, mereka mendapat tekanan untuk untuk meperoleh SIM (Surat Ijin Mengemudi), sementara para pemilik mobil mendapatkan tekanan untuk mengurus ijin-ijin lainnya seperti pembuatan BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor), STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), ijin trayek serta ijin usaha. Dimana biaya-biaya pembuatan tersebut secara tidak langsung juga dibebankan para pemilik kepada supir dengan istilah “uang taktis” untuk koperasi.[17]
3.    Kondisi Terminal yang Tidak Mendukung
Persoalan lain yang turut membuat hari-hari supir angkutan kota menjadi kelam adalah kemelut yang ada di terminal. Kemelut pertama adalah tentang pungutan liar yang marak di semua terminal yang ada di Jakarta. Dimana setiap kali akan meninggalkan terminal, maka para supir tersebut diminati “uang kebersihan” oleh petugas yang bahkan menggunakan seragam DLLAJ (Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Namun, menurut seorang petugas, mereka terpaksa memungut bayaran tersebut karena terbebani 2 hal utama, yaitu target minimal pendapatan terminal serta “uang semir” yang ditujukan untuk banyak pihak.[18] Perkara ini menjadi semakin berbahaya, karena ternyata relasi yang terbangun semakin langgeng sebab para supir merasa hanya memberikan uang receh sisa dan menganggap pungutan tersebut bukan sebagai beban. Hal lain yang juga menjadi kemelut di terminal adalah keberadaan pedagang kaki lima yang menyita sebagian jalur angkutan sehingga menyebabkan kemacetan untuk setiap kendaraan yang ingin masuk maupun keluar dari terminal. Kemacetan inilah yang akhirnya menjadikan setiap supir kendaraan tidak masuk ke dalam terminal karena akan menghabiskan waktu mereka dikarenakan kemacetan tersebut.

4.    Pemanfaatan oleh Pihak Lain
Selain menghadapi pungutan di terminal, supir-supir mikrolet ini juga menghadapi berbagai pungutan lain di sepanjang rute yang dilalui. Dimulai di daerah POM, Kelapa Gading, tempat para supir mikrolet M-30A ini mangkal. Di daerah ini terdapat calo yang membantu mengaturkan setiap kendaraan yang mangkal. Dalam hal ini calo-calo tersebut mengatur mobil mana yang berangkat terlebih dahulu dan mana yang belakangan. Hal itu didasarkan pada urutan mobil tersebut mangkal. Para calo itu juga membantu supir dalam hal mencarikan penumpang. Salah satu calo yang berhasil ditemui dalah Jali.[19] Untuk jasanya ini Jali mengaku mendapatkan uang berkisar dari 500 rupiah, jika ia hanya membantu mengatur jalan, hingga 2000 rupiah jika ia  membantu dalam mencarikan penumpang bagi supir. Tak hanya calo, di perjalanan, para supir kadangkala juga dihadapkan pada pungutan yang dilakukan oleh para timer. Dimana setiap pungutan besarannya sekitar Rp.2000,00 hingga Rp.3000,00. Keberadaan timer ini disebutkan untuk membantu supir bila mengalami kesulitan di lapangan seperti mengurus SIM yang ditahan polisi serta juga dalam hal urusan menjatah “uang rokok” bagi beberapa instansi, seperti Polsek, Polres, dan DLLAJ.
5.    Beban Setoran dan Kondisi Kendaraan
Selain tertekan oleh perkara-perkara eksternal besar yang berkaitan dengan hukum, instansi pemerintah, dan perizinan, ada pula persoalan-persoalan yang terlihat sederhana yang turut pula mempengaruhi profesi seorang supir. Di bawah ini, penulis mencoba membahas sedikit mengenai kedua perkara sederhana tersebut. Yang pertama adalah persoalan setoran, dimana menurut pengamatan penulis, setiap supir dituntut setoran dengan nominal yang cukup besar dan nyatanya bersifat memberatkan bagi setiap supir. Dalam hal ini, penulis juga melihat adanya hubungan tidak seimbang yang terbangun diantara pemilik kendaraan dengan supir yang menyewa kendaraan. Dimana berkembang persepsi bahwa di satu sisi, pemilik tidak membutuhkan supir secara langsung karena jika ad supir yang tidak mau bekerja untuknya, maka pemilik kendaran dapat mencari orang lain. Namun, di sisi lain, seorang supir digambarkan amat membutuhkan pemilik kendaraan untuk dapat menyambung hidupnya sebab ia sendiri tidak memiliki kendaraan untuk dioperasikan. Hubungan yang demikian akhirnya membentuk suatu “penjajahan” oleh pemilik kendaraan terhadap supir, khususnya dalam perkara setoran, dimana pemilik merasa berhak menentukan sesuai keinginannya dan supir hanya perlu memenuhi ketentuan tersebut. Hal sederhana kedua dalam keseharian supir yang juga memberikan tekanan bagi profesi ini adalah kondisi kendaraan yang setiap hari menemani dalam mencari nafkah. Seperti yang kebanyakan dapat kita temui di jalan-jalan, banyak kendaraan umum yang berlalu-lalang berada dalam kondisi yang boleh dikatakan tidak layak untuk dioperasikan dan mengangkut penumpang. Hal itu disabebkan karena banyak dari kendaraan tersebut yang telah memiliki usia yang jauh lebih tua dari peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Usia yang tua tersebut dan minimnya peremajaan yang dilakukan menyebabkan banyak masalah dan kerusakan yang dialami supir, yang menghambat  dalam usaha mencari penumpang. Selain sering rusak sehingga mengganggu pekerjaan dari supir, kondisi kendaraan yang buruk juga turut menjadi salah satu alasan supir sulit untuk menabung. Sebab berdasarkan  hasil wawancara, diakui oleh Ferry maupun Omeng, mereka sebagai supir juga harus turut mengeluarkan uang untuk biaya perbaikan kendaraan.

Berharap Untuk Penghidupan yang Lebih Baik
Dewasa ini, transportasi telah berkembang menjadi kebutuhan enting bagi manusia, tak terkecuali bagi masyarakat yang diam di Kota Jakarta. Layaknya kota besar lain di dunia, Jakarta  juga membutuhkan moda transportasi massal untuk mempermudah perpindahan bagi warganya. Namun sayangnya, kota yang tahun ini akan menginjak usianya yang ke-482, ternyata belum mampu untuk menjawab kebutuhan tersebut. Diluar dari sarana Bus Tansjakarta yang telah dibuka sebanyak 7 koridor, penyediaan akan Mass Rapid Transit (MRT) dan Monorail, masih jauh dari harapan untuk direalisasikan walau telah dicanangkan sejak hampir sepuluh tahun yang lampau.
Ketiadaan sarana transportasi massal itulah yang akhirnya memunculkan angkutan kota seperti mikrolet, sebagai primadona angkutan dalam kota bersama bus kota selain Kereta Rel Listrik (KRL) yang lebih banyak melayani kebutuhan para komuter dari kota-kota satelit di sekitar Jakarta. Namun, dalam perannya untuk menjadi sarana transportasi bagi orang banyak, angkutan kota dan mikrolet juga masih memberikan pelayanan yang jauh dari sempurna seperti yang diharapkan sedia kala. Sebagai contoh, masih banyak ditemui supir yang mengemudi dengan ugal-ugalan serta bertindak dengan tidak mempedulikan rambu-rambu dan peraturan yang berlaku. Sehingga pada akhirnya menyebabkan tingginya angka kecelakaan di jalan raya. Selain itu ketidakdisiplinan supir angkutan juga kerapkali menimbulkan kemacetan di jalan-jalan protokol ibukota. Padahal menurut Andrinof Chaniago, seorang dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia, kemacetan di Jakarta telah menyebabkan kerugian sebesar Rp. 43 miliar.[20]
Berkaitan dengan fakta-fakta di atas, maka Prihanto Rudiono dalam tesisnya yang berjudul Kehidupan Sopir Angkutan Kota Mikrolet M-20(Studi Kasus Koperasi Mikrolet Purimas Jaya), menyatakan bahwa kurangnya penghargaan dan respek yang diberikan bagi supir tersebut telah menjadi salah satu penyebab dari ketidakteraturan yang ada. Dalam hal ini yang ditekankan adalah kurangnya peran pemerintah dalam memperhatikan profesi supir dan minimnya usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para supir. Hal ini akhirnya  menyebabkan masing-masing supir tersebut harus berjuang secara sendiri-sendiri karena nasib mereka ditentukan oleh diri mereka sendiri. Hal yang berbeda dapat kita temukan di luar negeri, khususnya di negara-negara barat, dimana profesi supir dipandang dan dihargai dalam masyarakat karena dianggap memiliki jasa bagi khalayak luas.
Sehubungan dengan hal itu, beberapa hal yang akan sangat baik jika dilakukan sebab memiliki kans untuk memperbaiki keadaan yang ada sekarang ini. Yang pertama bagi masyarakat luas, akan lebih baik jika kita menumbuhkan sikap yang lebih menghargai profesi supir angkot ini, sebab walau bagaimanapun, mereka punya andil dalam mempermudah kita untuk pergi ke suatu tempat. Hal kedua, yang khususnya harus dilakukan pemerintah adalah berupaya memperbaiki berbagai saran untuk mendukung profesi ini sperti peremajaan dan pembatasan usia kendaraan sehingga kerusakan kendaraan karena usia tidak lagi menghambat. Perbaikan lain yang diharapkan adalah perbaikan terhadap kondisi terminal sehingga dapat terminal berfungsi baik sesuai dengan yang seharusnya. Perbaikan juga harus diberlakukan bagi jajaran aparat  yang bersinggungan dengan profesi supir angkot sehingga jangan sampai profesi ini dimanfaatkan oleh sebagian pihak untuk memperkaya diri sendiri.
Demikianlah makalah ini dibuat berkaitan dengan studi mengenai angkutan kota di metropolitan. Semoga melalui makalah ini, pemahaman mengenai angkutan kota dapat bertambah dan juga dapat merubah paradigma yang buruk mengenai supir angkot. Sebab, supir angkot juga adalah manusia yang perlu untuk dihargai dan mendapat peran di dalam masyarakat Indonesia khususnya warga kota Jakarta.



[3]  -, “Kriteria Kota Metropolitan,”Kompas Cybermedia,22 Maret 2000, Jakarta.
[4]  -,Lalu Lintas Dan Angkutan, Jakarta:Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan,2003, h. i.
[5]  Prihanto Rudiono,”Sejarah Transportasi Massa Perkotaan,”Kehidupan Sopir Angkutan Kota Mikrolet M-20(Studi Kasus Koperasi Mikrolet Purimas Jaya),Jakarta:Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,2000,h.33.
[6]  Ibid.
[7]  Op.Cit.h.35.
[8]  Op.Cit.h.36
[9]  Op.Cit.h.38.
[10] Wawancara dilakukan pada hari Senin, 25/5/2009. Pada hari itu penulis turut di mobil supir dan ikut mengikuti supir menyusuri rute dari Pulo Gadung ke Tanjung Priok dan kemudian kembali lagi ke Pulo Gadung.
[11] Wawancara pada Kamis, 21/5/2009 di depan Mal Kelapa Gading ketika penulis sedang menunggu hujan reda di dalam mobil milik supir yang bersangkutan. Dilakukan sekitar pk.18.00-pk.18.30.
[12]  Prihanto Rudiono,”Bab IV:Dampak Kebijakan Lalu-Lintas Terhadap Aktifitas Sopir  Mikrolet,”Kehidupan Sopir Angkutan Kota Mikrolet M-20(Studi Kasus Koperasi Mikrolet Purimas Jaya),Jakarta:Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,2000,h.93.
[13]  Ibid.
[14]  Op.Cit.h. 94.
[16]  -,”Mimpi Pelayanan Angkutan Umum Jakarta Membaik,”Kompas Cybermedia, Senin 14 Januari 2002.
[17]  Prihanto Rudiono,”Bab IV:Dampak Kebijakan Lalu-Lintas Terhadap Aktifitas Sopir  Mikrolet,”Kehidupan Sopir Angkutan Kota Mikrolet M-20(Studi Kasus Koperasi Mikrolet Purimas Jaya),Jakarta:Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia,2000,h. 100.
[18]  Op.Cit.h. 132.
[19]  Wawancara dilakukan pada Senin, 25/5/2009 di POM, pangkalan mikrolet M-30A di dekat Jalan Raya Bekasi Timur sekitar pk. 11.00 – pk. 11.30. Wawancara dilakukan sembari penulis menunggu untuk ikut di mobil  salah satu supir untuk menyusuri rute mikrolet M-30A dari Pulo Gadung ke Tanjung Priok.
[20]  -,”Kerugian Akibat Kemacetan Jakarta 43 Miliar”,Antara News,Kamis 28 Mei 2009.

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...