Skip to main content

CHAPTER II, WHEN I MET HER



8 September 2008

”Bro, akhirnya minggu ini  gue menginjakkan kaki di gedung yang namanya kampus. dan gue belajar pertama kali sebagai mahasiswa. Ya. Walaupun tidak sesuai keinginan gue. T.T Bayangin aja. Masak gue musti  kuliah di universitas yang jauhnya tuh ribuan kilo dari rumah, padahal  depan rumah gue ada universitas! Bete ga sih. Bokap thu aneh aneh aja deh. Uda mana semua yang di kampus baru ga ada yang gw kenal lagi. Hm. Uda gitu neh, baru masuk aja gue uda ketemu cewe yang nyebelin n ngekiin. Pagi-pagi uda ganggu orang aja. Gw lagi enak-enak ny nulis dy dateng n malah jadi berantem. Uda gitu neh,…………………………………………. ”

***

Pria muda di balkon apartemen tadi tidak menyelesaikan bacaannya. Kepalanya terangkat. Mendongak ke langit menatap rembulan yang tersembul di balik awan. Tampaknya sekelebat kenangan sedang bermain dalam alam memorinya.

***

Ruang kelas itu tidaklah terlalu besar. Namun ideal untuk 30-40  orang mahasiswa. Masuk di muka pintu, papan tulis untuk spidol tergantung di tembok yang ada di sisi kanan pintu. Sementara di sebelah papan tulis terpasang sebuah layar proyektor, yang besar sudut penempatannya 1350 dari sisi muka papan tulis. Tak hanya itu, melengkapi keberadaan layar, sebuah proyektor tergantung di langit-langit kelas.
Sebanyak 30-an kursi yang menjadi satu dengan meja tampak mengisi ruang kelas itu. Warna oranye pada kursi nampak kontras di atas karpet berwarna biru gelap dan dinding berwarna putih. Sementara meja yang terpasang berwarna abu-abu muda.
Belum banyak mahasiswa yang ada di kelas itu. Namun, beberapa tas tampak tergeletak begitu saja. Mungkin pemiliknya sedang menjelajah kampus yang baru saja didirikan tersebut. Diantara beberapa mahasiswa yang duduk di kelas. Nampaklah seorang pemuda yang mengambil tempat di pojok kelas. Sementara seorang gadis baru saja memasuki kelas tersebut.
”Permisi, kursinya kosong ga?”
Tak ada jawaban. Pemuda yang kepadanya pertanyaan itu dilemparkan masih sibuk dengan pulpen dan kertas di hadapnya.
”Permisi, boleh duduk disini?” gadis itu bertanya untuk kedua kali, kali ini dengan intonasi yang lebih kuat.
”Duduk aja!” si pemuda menjawab seadanya. Bahkan kepalanya tidak bergerak sedikitpun.
”Gimana mau duduk kalo ada tas bang? Tas-nya mau gimana nih?” sang gadis yang bête, kini bertanya dengan ketus sembari mengangkat sebuah tas ransel yang tadi ada di bangku.
Sejenak tidak ada tanggapan. Sang gadis sudah siap memuntahkan kalimat selanjutnya waktu kepala si pemuda menoleh. Pandangan tanda tidak senang terpancar dari kedua bola matanya.
”Kenapa harus duduk sini sih?” si pemuda meraih tas tadi dengan agak kasar, ”Kan masih banyak tempat lain tuh di depan.”
Tas itu kemudian ditaruhnya di bawah kursi.
”Ya, kan gue maunya duduk disini! Mank nya ada larangan ga bole apa?” sang gadis tidak mau kalah, ”Lagian masak tas taruh di kursi? Kan kursi buat orang duduk.”
”Bawel!” si pemuda kembali pada kertas dan pulpennya tadi.
”Apa lu bilang?”
”Gak! Gak ada apa-apa.”
”Dasar! Cowo nyebelin!” sang gadis melempar tubuhnya pada kursi, ”Kenapa sih hari pertama uda ketemu orang yang nyebelin?”
”Eh, sapa yang nyebelin duluan?” si pemuda kini kembali menoleh.
”Masih berani nanya lagi dia,” nada suara sang gadis mulai meninggi sebelum akhirnya terpaksa diturunkan karena seorang dosen masuk.
Hari itu, bukanlah pembuka yang ideal bagi si pemuda dan sang gadis. Duduk di pojok kelas, mereka malah sibuk sendiri sementara dosen memberikan pengantar. Otomatis, tidak ada yang mereka peroleh hari itu, jika melihat dari sisi ilmu. Namun, sebenarnya ada dua hal yang yang mereka dapatkan.
Pertama, musuh baru di kampus baru.
Kedua, identitas musuh mereka. Si pemuda bernama Naldo. Sang gadis bernama Marissa.

***

Hari itu, tanggal 15 September 2008. Warna biru cerah menghiasi langit luas. Tanpa awan yang bergantung di angkasa sana, mentari bebas menyirami bumi dengan sinarnya.
Bumi pun seakan bangkit kembali dari tidurnya. Burung-burung kecil terbang bebas menikmati udara segar yang bebas dari karbon monoksida. Sementara bunga-bunga bermekaran menwarnai hari pertama di minggu itu.
Manusia juga tidak ketinggalan. Mobil pribadi, kendaraan umum, dan sepeda motor serta pejalan kaki saling berebut peran di jalan Kelapa Dua, Gading Serpong. Entah itu para bapak yang pergi bekerja. Para ibu yang berbelanja. Atau para siswa yang pergi menuntut ilmu.
Tampaknya minggu yang baru itu memberikan tenaga baru pula bagi semua orang. Ya, mungkin semua orang kecuali Naldo.
Jarum detik pada jam berbentuk bola sepak sudah beranjak dari pukul tujuh lewat empat puluh lima menit. Namun, sang empunya yang berbaring di atas kasur ukuran single di pojok kamar, tak kunjung bangkit.
Ia masih terbuai dalam mimpinya yang mengasyikkan. Tampak badannya itu berguling mengikuti petualangannya di alam mimpi.
”I’m back. I’m back,” seruan kecil terdengar dari atas ranjang bersamaan dengan tangan yang teracung. Sementara mata Naldo masih terpejam, ia  tampak berguling. Ia lalu berguling lagi. Hingga ia tiba di tepi ranjang.
DUUAAAKKK!!!
Suasana menjadi hening pasca tubuh itu berpindah tempat. Sebelum akhirnya sebuah seruan membahana, mengisi ruang-ruang kosong dalam kamar itu.
”Aaauuuhh,” terdengar suara yang meringis. Menemani sebuah tubuh yang terduduk merasakan dinginnya lantai pagi itu.
Naldo hanya bisa memegangi punggungnya dengan tangan kanan. Ia belum bisa mengumpulkan seluruh tenaga untuk bangkit. Satu dua menit kemudian, barulah semua nyawanya terkumpul dan ia duduk di atas kasurnya kembali.
”Sial! Ranjangnya kecil banget sih,” keluhan terucap. Masih sambil memegangi punggungnya.
”Emm, udah jam berapa ya?” tangan kirinya tampak mencari benda yang ada di meja tepat di sebelah ranjangnya. Dapat. Sebuah jam meja berbentuk bulat, yang juga berbentuk bola sepak. Hanya saja, di dalamnya ada sebuah lambing yang merupakan emblem klub sepakbola di daratan Eropa sana.
”HAH!!!!!!” seruan kali ini bisa membangunkan seisi rumah kosnya mungkin.
”Gila!! Udah jam 8 kurang 5???” mata Naldo terbelalak, ”Mati gue! Mana ini hari senin lagi”
Tanpa menanti. Tubuh itu segera bangkit. Sementara tangan kanannya membuka kunci pintu, tangan kirinya dengan sigap meraih handuk yang tergantung di balik pintu. Dan dalam sekejap pintu kamar sudah menutup kembali, menyisakan kamar yang kosong.
BBUUAAAKKK!!

***

Dalam tempo tak sampai 10 menit,  Naldo sudah berjalan meninggalkan kamar kosnya.
”Semoga ada angkot yang langsung ke kampus,” batinnya saat ia menuju ke jalan dekat pasar Kelapa Dua. Dengan sedikit terburu-buru, ia tampak masih membenarkan ikat pinggang yang digunakannya. Sejenak, matanya tampak melirik ke arah tangan kanannya, dimana sebuah jam tangan NIKE ala pinggir jalan yang baru saja selesai dibalutkan.
”Udah jam delapan lewat lagi neh,” pikirnya dalam hati, ”Sial!”
Tapi, ia tampaknya tidak sesial itu. Walau sedikit, hari baru itu masih berpihak kepadanya. Tepat ketika ia tiba di tepi jalan, mobil angkot bernomor trayek 01 muncul di hadapnya.
”Ke kampus bang?” Tanya Naldo sebelum membuka pintu di samping supir dan duduk.
Perjalanan ke kampus kali ini tampak begitu panjang bagi Naldo. Melewati Mal Serpong, deretan ruko, dan perumahan, Naldo tampak tak sabar. Berkali-kali, matanya melihat jam tangan. Sambil berharap jarum detik berhenti berdetak. Ya, itu hanya harapannya. Sebab tidak ada alasan waktu berhenti berdetak kecuali salah satu antara bumi ini atau jam itu kehilangan daya untuk berotasi.
Jam 8 lewat 15. Angkot berwarna kuning itu akhirnya tiba di depan kampus yang masih baru.
”Neh Bang,” sambil menyerahkan dua lembar dua ribuan, Naldo turun dan memasuki areal kampus. Ia tampak berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak yang khusus bagi mahasiswa yang berjalan kaki.
”Misi, permisi,” Naldo tampak melalui sekelompok mahasiswa yang duduk di dekat pintu masuk kampus. Ia kemudia bergegas menuju ke tangga yang akan membawanya ke tingkat dua gedung itu.
”Duh, mana ya kelasnya?” kepala Naldo celingukan melalui celah kecil di pintu setiap kelas.
”Setahu gue, kemaren di lantai dua deh,” Naldo masih menyusuri lorong di tingkat kedua gedung itu sembari mencari wajah teman-teman yang minggu lalu sekelas dengannya.
”Ah!! Gue terlambat!” sebuah suara agak keras terdengar dari belakang Naldo. 
Ia belum sepenuhnya menengok saat ia merasa tubuhnya sedikit terlempar.
”Lu ga apa?” Naldo yang terjatuh kemudian segera bangkit dan insting gentleman-nya berusaha membangunkan pelaku penabrakan. Mungkin karena pelakunya seorang gadis.
”Gak apa kok. Gue yang sorry, gua uda terlambat soal-….” tiba-tiba  suara gadis yang ditolongnya berhenti saat mata Naldo dan mata gadis itu bertemu, ”Eh, ELU. DASAR! Malah halangin jalan orang. Udah tahu gue uda telat,” suara sang gadis berubah 180 derajat.
”Eh, kan elu yang nabrak gue!” Naldo yang semula simpati kini melepas tangan si gadis begitu saja. Sementara sang gadis yang ternyata Marissa membereskan bukunya yang jatuh karena tabrakan tadi.
”Gue jadi tambah telat kan gara-gara lu nabrak!” omelan Naldo berlanjut saat Marissa sudah berdiri.
”Udah ah, cape berantem sama lu,” Marissa melengos pergi meninggalkan Naldo yang kesal sendiri. Tapi Naldo kemudian mengikuti Marissa karena ia tidak tahu kelasnya sendiri. Ironi.

TOK. TOK. TOK.

Tiga kali suara pintu terdengar sehingga memotong pembicaraan dosen di dalam kelas, sebelum suara pintu terbuka.
”Maaf pak saya terlambat,” Marissa tampak berdiri di ambang pintu.
”Pak, maaf saya telat,” suara Naldo tiba-tiba terdengar dari belakang Marissa.
”Kenapa kalian terlambat bersama-sama?” suara dosen Sosiologi yang kumisnya sudah sedikit memutih itu terdengar  kesal karena kuliahnya terganggu kehadiran Marissa dan Naldo.
”Saya ga sama-sama dia kok, pak,” Marissa keberatan atas pernyataan si dosen.
”Iya pak, sapa lagi yang mau bareng-bareng dia,” Naldo menimpali, ”Yang ada saya terlambat gara-gara dia nabrak saya pak.”
”HEH!” Marissa berbalik badan segera, ”Kan lu yang bikin gue terlambat.”
”Tapi kan elu yang nabrak.”
”Sapa suruh lu ditengah jalan.”
”Gue ga di tengah jalan. Gue lagi nyari kelasnya.”
Akhirnya seluruh kelas terbahak melihat pertarungan sengit antara Naldo dan Marissa. Mereka tampak sedikit terhibur melihat tingkah pola dua teman sekelasnya tersebut. Ya, mungkin juga karena kuliah sang dosen sedikit banyak membosankan dan membuat ngantuk.
Adu mulut itu dapat saja menjadi lebih panjang, jika tidak ada wasit yang mengakhirinya. Eh, maksudnya dosen berkumis itu yang mengakhirinya.
”Sudah-sudah,” pengajar itu menengahi.
”Jadi saya bole masuk, pak?” suara Naldo dan Marissa terdengar hampir bersamaan.
”Bukan begitu,” jawab dosen yang bernama Suhartono itu sembari melihat jam tangannya, ”Anda berdua sudah terlambat lebih dari 15 menit. Jadi Anda tidak diperkenankan masuk ke dalam kelas.”
Serempak namun tak sama, air muka Marissa dan Naldo, yang baru memasuki pekan keduanya sebagai mahasiswa, berubah.
”Pak, boleh masuk dong pak,” Marissa masih berdiri di depan pintu. Mengharap kemurahan hati sang sumber ilmu. Namun, harapannya hanya bertepuk sebelah tangan.
”Maaf, karena Anda sudah terlambat dan sekarang malah sedikit menganggu kelas saya, maka Anda diundang hadir kembali pekan depan. Tentu saja tepat waktu dan tidak terlambat,” dosen itu mengakhiri negosisasi dengan menutup pintu kelas. Menyisakan Marissa dan Naldo yang mengintip di jendela kaca pada pintu kelas.

***

..... bersambung .....

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

It's Not About me

Greg Asimakoupoulos – Majalah Breakaway Agustus 2003 – It’s Not About Me Peter adalah seseorang yang sedari muda sudah mendambakan tantangan. Ia senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendaki gunung, berenang, dan menjalani kompetisi  fisik untuk menguji daya tahannya. Ketika ia masuk ke Wheaton Academy, ia memanfaatkan kesempatan menghabiskan musim panasnya dengan mengikuti beberapa perjalanan misi. Perjalanan-perjalanan tersebut  adalah sebuah tantangan memberitakan injil ke Alaska, Arizona, Guatemala, dan Republik  Dominika. Tanpa memberitahukan siapapun, Peter mulai berencana berjalan menyusuri Appalachian Trail (AT) pada musim panas setelah tahun pertamanya di Wheaton College. Ia pun  berbicara pada salah satu pemimpin di perjalanan misi untuk meminta nasihat. Setelah mendengar rencana Peter, sang pemimpin menganggap rencana Peter adalah suatu tujuan yang hebat. Tetapi menurutnya, Peter tidak akan mungkin bisa melakukan itu dalam kurun waktu 3...