Pria
muda itu masih betah duduk di balkon apartemennya sementara malam sudah
beranjak semakin malam. Ia membalik beberapa halaman dari buku yang ada di
tangannya. Hingga ia tiba di suatu halaman. Di mana pada pojok kanannya tertera
tanggal 9 September 2008.
”Bro, kesialan gue masih berlanjut. Kemaren itu gue udah ga bisa masuk ke dalam kelas gara-gara ada cewe bernama Marissa yang menghalangi. Secara dia adalah orang yang sama yang bikin hari pertama kuliah gue suram. Dan sekarang, mimpi buruk ini bertambah buruk. Ternyata kemaren ada pembagian kelompok presentasi dan alhasil gue harus sekelompok sama nenek lampir itu, karena cuma kita berdua yang ga ada di kelas saat itu.AAAAHHH!!!! Kejamnya dunia ini…………………. ”
***
Sedang
enak membaca, tiba-tiba tetesan pertama hujan mulai jatuh ke bumi. Pria muda
yang tadi duduk di sotoh apartemen, kini terpaksa berpindah. Ia tidak ingin
buku dalam genggamannya basah oleh limpahan air dari langit.
Setelah
merapatkan jendela dengan menggesernya, ia meletakkan sebuah sofa tepat di dekat
jendela. Tampaknya ia masih ingin menikmati malam yang panjang itu seorang
diri. Bersama dengan buku dalam genggamannya. Setelah mendapatkan tempat yang
nyaman, ia kembali membuka buku tersebut. Seiring waktu, hujan menajdi semakin
deras. Namun, irama rintik hujan yang turun tampaknya mengingatkan ia pada
sesuatu. Ia lalu membuka halaman yang tertulis 10 Desember 2008. Dan mulai membacanya.
***
”Eh,
no hp lu berapa?” sebuah suara yang kini tak asing lagi di telinga Naldo
terdengar.
”Tumben
lu tanyain no gue? Sekarang jadi naksir ya?”
”HEH!
Ya kagak lah. Gue mau tahu supaya bisa suruh lu bikin tugas sosio,” Marissa
tidak mau kalah.
”Ah,
sial, gue sama lu lagi ya,” Naldo kini tampak sudah mengingat sesuatu, ”Kalo
mau bikin jangan mepet-mepet ya kasih kabarnya.”
”Iya,
tapi hari ini pulang kuliah bisa kan lu?” Marissa bertanya tepat pada sasaran.
”HAH???
YANG BENER AJA LU!!” Naldo melayangkan protes pada teman sekelompoknya itu,
”Baru aja tadi diperingatin.”
”Ya,
kan baru tadi juga lu kasih tahu, jadi gue belum tahu,” Marissa membalas dengan
nada cuek, ”Jadi, nanti sore pulang kuliah ya lu ke rumah gue.”
”Eh,
gue ada latian futsal hari ini.”
”Ah,
pake latian-latian lagi dia,” nada kesal menyertai tanggapan Marissa, ”Mank
sampe jam berapa?”
”Ya,
jam 7 jam 8 lah.”
Marissa
kini tampak berpikir.
”Ya
sudah.”
Naldo
malah terkejut. Padahal ia sudah menyebut angka delapan karena tidak ingin
datang malam itu. Tapi tampaknya perkiraannya meleset.
”Harusnya
jam sepuluh tadi ya gue bilangnya,” batin Naldo bersuara.
”Hm,
beneran lu? Nanti kemaleman kan ga enak,” Naldo berupaya mengelak sehalus
mungkin, ”Lagian kan gue belum mandi lho bis main.”
”Udah
ah. Ga usah centil. Lu cukup dateng aja,” Marissa bersikeras, ”Gue tunggu ya
jam delapan. Awas kalo ga ada!” Marissa berbalik badan sebelum ia kembali
menghadap kea rah Naldo.
”Eh,
no HP lu jadi berapa?”
”08193598910,”
Naldo kini hanya bisa pasrah, ”Miss call gue ya.”
”Uda
belum?” Marissa bertanya setelah sebelum mengotak-ngatik blackberry barunya.
”Ini
kan?” Naldo menunjukkan nomor yang ada di layar hapenya yang masih berwarna
hitam putih ke depan mata Marissa.
”He-eh,”
Marissa menganggukkan kepalanya.
***
Di
daerah Kelapa Dua Serpong, berdiri sebuah tempat bermain futsal yang cukup
besar. Terdiri dari tiga lapangan berumput imitasi, lapangan itu tak pernah
sepi dari orang-orang yang menyalurkan hobinya. Dan salah satunya adalah Naldo.
Namun,
keadaan di luar tempat bermain itu menunjukkan bahwa alam tidak bersahabat
dengan Naldo kala itu. Ia baru saja menyelesaikan permainannya saat hujan turun
begitu derasnya. Awan yang sudah menggantung sejak Naldo berangkat dari rumah kos-nya
ke tempat bermain futsal kini tumpah sudah. Tampaknya awan itu tak bisa lagi
menahan kumpulan uap-uap air yang terkumpul sejak tadi siang, dimana matahari
bersinar dengan amat terik.
”Aduh,
udah jam delapan lagi nih,” batin Naldo bergejolak, ”Gimana caranya gue ke
rumah Marissa?”
Dipandangnya
langit yang malah bertambah kelam. Berharap ada jawaban yang akan terpatri
disana. Dan memang, ia kemudian segera berjongkok. Ia tampak merapikan beberapa
barangnya yang ada di dalam tas. Yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong
plastik, sebelum dikembalikan ke dalam tas. Setelah selesai ia bangkit kembali.
Sejenak ia menonton derasnya hujan yang turun sebelum kembali memandang ke
langit.
***
”Duh,
mana sih si Naldo?” Marissa tampak berdiri di teras rumahnya yang ada di
kompleks perumahan Pondok Hijau Golf. Gadis dengan tinggi 160-an sentimeter itu
mengenakan pakaian rumah berupa kaos bertuliskan GIORDANO dan celana pendek
yang tingginya di atas lutut. Merasakan dinginnya udara di luar sana, Marissa
tampak menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang kemudian ditempelkan pada
kedua pipinya yang chubby. Tidak
tahan dingin, sesaat kemudian ia masuk kembali dan duduk di sofa yang terbalut
kulit.
”Mana
di hubungin ga masuk-masuk lagi,” raut wajahnya sudah menandakan bahwa tingkat bête-nya sudah cukup tinggi.
”Ahh,
nyebelin banget sih,” Ia melempar blackberry
ke sofa sebelum melangkahkan kakinya ke teras.
Kepala
Marissa tampak bergantian menengok ke kanan dan ke kiri, melihat ke arah jalan
di depan rumahnya. Hanya beberapa kendaraan yang tampak lewat malam itu. Ia
lalu menoleh ke jam tangan bermerek ODM di tangan kirinya.
”Udah
jam setengah sembilan nih. Jadi dateng ga sih thu orang? Paling nggak kasih
tahu kek kalo ga dateng.”
Marissa
sudah berputar hendak masuk ke dalam rumah saat bel rumahnya berbunyi. Dengan
segera ia berbalik. Mata tampak memicing, berusaha menangkap bayangan orang
yang berdiri di depan gerbang rumahnya tersebut. Dan, ia mengenalinya. Itu
Naldo.
”Sorry
Mar gue telat, tadi ujan jadi gue terpaksa jalan, ga ada ojek soalnya,” Naldo
setengah berteriak karena hujan turun tanpa mengenal belas kasihan.
***
”Duh,
lu gila ya?” Marissa yang tadi sudah mempersiapkan amunisi kini melunak melihat
temannya basah kuyup oleh hujan. Ia menyerahkan selembar handuk kepada Naldo,
namun tetap dengan sebuah protes, ”Kalo mau mati, jangan sekarang dong. Tugas
kita belom kelar nih. Kenapa ga lu bilang aja lu gak ada kendaraan, jadi lu gak
dateng. Hujannya kan gede banget. Apalagi petii….”
Marissa
segera menutup telinganya saat sekelebat sinar seperti lampu flash pada kamera terlihat. Yang
kemudian diikuti guntur membelah bumi.
”Tuh,
baru aja diomongin,” Marissa melepas tangan dari kedua daun telinganya.
”Yaa,,
ini kan terpaaaak….,” Naldo belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!!”
Naldo mengambil tissue yang ada di atas meja, ”Minta ya Mar. Iya, terpaksa
untuk tugas, kan takut nenek lampirnya marah lagi.”
”Hah?
Apa lu bilang?” Marissa protes kepada Naldo yang kemudian dibalas dengan
bersin.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!!”
Naldo kembali mengambil tissue dari atas meja kaca yang kaki-kakinya dari kayu
jati asli. Tipikal rumah kelas atas.
“Yaa,
dia malah sakit sekarang kan,” Marissa kini duduk di hadapan Naldo, ”Hm, lu
ganti baju dulu ge sana. Nanti malah masuk angin lagi lu. Ada baju kan? Nanti
gue bikinin teh anget.”
Marissa
kemudian bangkit dari sofanya dan berjalan ke arah dapur.
”Tuh,
wc nya ada di deket wastafel situ,” ia menunjuk ke pintu yang ada di dekat
tangga naik ke lantai dua.
Naldo
kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ia lalu berjalan melewati sebuah ruang
makan yang cukup membuat ia terpana untuk sejenak. Sebuah meja makan besar
dengan bangku yang memiliki senderan tinggi mengelilinginya. Tak hanya itu, di
hadapan setiap bangku, satu set perlengkapan makan sudah tertata rapi. Sungguh
suatu pemandangan yang berbeda dari yang ia tahu. Naldo lalu melanjutkan
langkahnya hingga ia menyadari lantai sudah basah oleh jejaknya.
”Sorry
lantainya jadi basah,” setalha ia gagal untuk tidak meninggalkan jejak apa-apa
di lantai, sebab itu memang tidak mungkin karena bajunya yang basah terus saja
menetes.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!”
suara bersin Naldo mengiringi langkahnya memasuki wc untuk berganti baju.
***
Lima
menit, Naldo keluar dari wc. Ia kini telah menggunakan kaos dan celana yang
kering sementara tangannya menenteng kantong berisi pakaian yang basah. Ia
masih menggigil karena udara menjadi semakin dingin seiring jarum jam yang
sudah menunjukkan pukul 09.00.
Sementara
sang pemilik rumah masih terdengar berada di dapur. Naldo berjalan di ruang
tamu rumah itu sembari melihat-lihat foto yang terpasang di dinding. Satu per
satu foto dilihat sekilas hingga ia tiba pada sebuah pigura yang nampak
sederhana dibandingkan denagn yang lain. Tampak pada gambar, lima pria dewasa
yang difoto dengan pose berdiri sementara pria yang ada di tengah memegang
sebuah piala dan bola sepak. Lama Naldo memandangi foto itu, hingga ia tak
menyadari Marissa sudah kembali.
”Itu
foto bokap, waktu gue masih umur 8 tahun,” suara Marissa mengagetkan Naldo yang
masih berdiri di depan gambar..
”Hm,
bokap lu yang mana?” Naldo yang penasaran bertanya.
”Dia
yang ada di tengah dan memegang piala itu.”
”Bokap
lu suka main bola ya?” Naldo yang merasakan suatu kesamaan tampak tertarik.
”Iya,
tapi itu dulu,” raut wajah Marissa sedikit berubah.
”Maksudnya?”
”Bokap
udah meninggal waktu gue umur dua belas tahun karena leukemia.”
”Ow,
maaf yaa,” Naldo tampak sangat menyesal menanyakan hal itu. Ia dengan segera
kembali duduk.
”Gak
apa kok, itu udah lama berlalu,” Marissa membawakan secangkir teh dan kini
duduk di sebelah Naldo sembari menyodorkan secangkir teh hangat, ”Nih teh nya
elu.”
”Makasih,
Mar,” Naldo membalas dengan sebuah senyuman tanda terima kasih.
”Hm,
bisa senyum juga ya lu?” Marissa sedikit tertawa. Nada suaranya terdengar
menggoda sang tamu.
”Ya,
bisa lah ya. Gue kan juga manusia,” Naldo ikut tertawa.
”Oya,
baju lu pake sekarang mirip ya sama yang dipake bokap gue,” sejenak Marissa
menoleh pada foto yang tadi dilihat Naldo.
”Iya
tuh. Itu baju tim Liverpool. Tahu gak?” Naldo menoleh ke arah Marissa dimana
pada saat yang bersamaan Marissa melihat ke arah Naldo sehingga dua pasang mata
itu saling bertemu.
Untuk
sejenak, suasana menjadi hening. Mata dua anak manusia itu masih bertaut.
Sementara sayup-sayup dari luar rumah, suara hujan yang mengguyur sudah tidak
sederas tadi.
”Eya,
sorry ya yang waktu itu,” Naldo tiba-tiba memecah keheningan.
”Ehh,
ehh,, Sorry kenapa nih? Kapan? Kapan?” Marissa terlihat salting mendengar perkataan Naldo.
”Itu
loh, waktu pertama kali ketemu, yang kata lu gue nyebelin itu. Trus waktu kita
ga bole masuk kelas itu,” Naldo menjelaskan.
”Oh,
ga apa kok, lupakan aja,” sebuah lesung pipit menghiasi senyum yang diberikan
pada Naldo, ”Ternyata lu orang nya enak juga ya.”
”Heh,
emanknya gue kue lapis apa?” muka Naldo memperlihatkan ekspresi anehnya.
”Dan
jayuzzz,” Marissa menambahkan sembari tertawa.
***
Mereka
asyik berbincang saat pintu rumah terbuka. Sesosok wanita setengah baya masuk
ke ruangan itu. Naldo yang menoleh mendapati bahwa wanita itu memiliki
kemiripan dengan sang bunda yang ada di rumah. Mungkin karena belakangan ia
tahu bahwa itu adalah ibunda dari Marissa. Hanya saja mungkin ini versi modern
dari sang bunda, sebab ia hampir selalu melihat sang bunda dalam balutan daster
tidurnya.
Sementara,
wanita yang ada di hadapnya sekarang tampak begitu berbeda. Menggunakan setelan
kantor yang biasa ia lihat di sinetron, menenteng tas yang cukup besar, dan
berpenampilan cukup gaul, wanita itu totally
diferent dari wanita yang melahirkannya 18 tahun silam.
”Marissa? Kok ada cowo malem-malem di rumah?”
kalimat pertama itu sungguh mengagetka Naldo.
”Iya
ma, ini temen Marissa, namanya Naldo. Tadi mau bikin tugas bareng, tapi dia
keujanan pas dateng. Jadi mpe sekarang lom bisa pulang,” Marissa menghampiri
sang bunda yang lalu mencium pipi kiri dan kanannya.
”Hm,
ujan udah berhenti kok sekarang,” wanita itu terus melangkah dan menaiki tangga.
Naldo
yang dari tadi menyaksikan, hanya bisa diam. Ia bingung karena belum sempat
sebuah sapaan ia lontarkan. Sosok itu sudah menghilang lagi dari pandangannya.
”Itu
nyokap gue,” Marissa yang duduk kembali di sisi Naldo membuyarkan lamunannya,
”Ga usah terlalu dipikirin. Mungkin karena gue anak tunggal, jadi nyokap gue
overprotektif banget.”
Senyuman
dari Marissa sedikit banyak mengobati kekuatiran dari Naldo. Sejenak ia melirik
pada sebuah jam antik dengan bandul besar yang ada tepat di sisi sofa tempat ia
duduk sekarang.
”Gue
pulang dulu ya,” Naldo kembali berpaling kepada Marissa.
”Loh?
Kok cepet-cepet?” Marissa yang sedang bermain dengan blackberry-nya segera melihat ke arah Naldo.
”Ya,
udah malem juga kan,” Naldo berdiri sembari membereskan barang-barangnya,
”Lagian kan gue jalan kaki.”
”Oh,
ya sudah,” Marissa ikut beranjak dari tempatnya duduk, ”Bentar, gue ambil kunci
dulu.”
Naldo
melangkah ke pintu depan sementara Marissa berjalan ke dalam mengambil anak
kunci.
”Hati-hati
ya, Nald,” Marissa membukakan pintu gerbang untuk Naldo.
”Iya,”
Naldo melambaikan tangannya, ”Thank you ya buat handuk dan teh hangat nya. Eya,
sorry, kita ga jadi bikin tugas.”
”Ya,
gampanglah. Besok-besok aja kita bikin, masih buat Januari kok,” sebuah
lambaian dan senyuman menyertai langkah Naldo yang menjauh dari kediaman Marissa.
Sementara tuan rumah memandangi tamunya hingga hilang di persimpangan jalan.
***
Comments
Post a Comment