Skip to main content

CHAPTER III, BERUBAH 180 DERAJAT



Pria muda itu masih betah duduk di balkon apartemennya sementara malam sudah beranjak semakin malam. Ia membalik beberapa halaman dari buku yang ada di tangannya. Hingga ia tiba di suatu halaman. Di mana pada pojok kanannya tertera tanggal 9 September 2008.

”Bro, kesialan gue masih berlanjut. Kemaren itu gue udah ga bisa masuk ke dalam kelas gara-gara ada cewe bernama Marissa yang menghalangi. Secara dia adalah orang yang sama yang bikin hari pertama kuliah gue suram. Dan sekarang, mimpi buruk ini bertambah buruk. Ternyata kemaren ada pembagian kelompok presentasi dan alhasil gue harus sekelompok sama nenek lampir itu, karena cuma kita berdua yang ga ada di kelas saat itu.AAAAHHH!!!! Kejamnya dunia ini…………………. ”
***

Sedang enak membaca, tiba-tiba tetesan pertama hujan mulai jatuh ke bumi. Pria muda yang tadi duduk di sotoh apartemen, kini terpaksa berpindah. Ia tidak ingin buku dalam genggamannya basah oleh limpahan air dari langit.
Setelah merapatkan jendela dengan menggesernya, ia meletakkan sebuah sofa tepat di dekat jendela. Tampaknya ia masih ingin menikmati malam yang panjang itu seorang diri. Bersama dengan buku dalam genggamannya. Setelah mendapatkan tempat yang nyaman, ia kembali membuka buku tersebut. Seiring waktu, hujan menajdi semakin deras. Namun, irama rintik hujan yang turun tampaknya mengingatkan ia pada sesuatu. Ia lalu membuka halaman yang tertulis 10 Desember 2008. Dan mulai membacanya.

***

”Eh, no hp lu berapa?” sebuah suara yang kini tak asing lagi di telinga Naldo terdengar.
”Tumben lu tanyain no gue? Sekarang jadi naksir ya?”
”HEH! Ya kagak lah. Gue mau tahu supaya bisa suruh lu bikin tugas sosio,” Marissa tidak mau kalah.
”Ah, sial, gue sama lu lagi ya,” Naldo kini tampak sudah mengingat sesuatu, ”Kalo mau bikin jangan mepet-mepet ya kasih kabarnya.”
”Iya, tapi hari ini pulang kuliah bisa kan lu?” Marissa bertanya tepat pada sasaran.
”HAH??? YANG BENER AJA LU!!” Naldo melayangkan protes pada teman sekelompoknya itu, ”Baru aja tadi diperingatin.”
”Ya, kan baru tadi juga lu kasih tahu, jadi gue belum tahu,” Marissa membalas dengan nada cuek, ”Jadi, nanti sore pulang kuliah ya lu ke rumah gue.”
”Eh, gue ada latian futsal hari ini.”
”Ah, pake latian-latian lagi dia,” nada kesal menyertai tanggapan Marissa, ”Mank sampe jam berapa?”
”Ya, jam 7 jam 8 lah.”
Marissa kini tampak berpikir. 
”Ya sudah.”
Naldo malah terkejut. Padahal ia sudah menyebut angka delapan karena tidak ingin datang malam itu. Tapi tampaknya perkiraannya meleset.
”Harusnya jam sepuluh tadi ya gue bilangnya,” batin Naldo bersuara.
”Hm, beneran lu? Nanti kemaleman kan ga enak,” Naldo berupaya mengelak sehalus mungkin, ”Lagian kan gue belum mandi lho bis main.”
”Udah ah. Ga usah centil. Lu cukup dateng aja,” Marissa bersikeras, ”Gue tunggu ya jam delapan. Awas kalo ga ada!” Marissa berbalik badan sebelum ia kembali menghadap kea rah Naldo.
”Eh, no HP lu jadi berapa?”
”08193598910,” Naldo kini hanya bisa pasrah, ”Miss call gue ya.”
”Uda belum?” Marissa bertanya setelah sebelum mengotak-ngatik blackberry barunya.  
”Ini kan?” Naldo menunjukkan nomor yang ada di layar hapenya yang masih berwarna hitam putih ke depan mata Marissa.
”He-eh,” Marissa menganggukkan kepalanya.

***

Di daerah Kelapa Dua Serpong, berdiri sebuah tempat bermain futsal yang cukup besar. Terdiri dari tiga lapangan berumput imitasi, lapangan itu tak pernah sepi dari orang-orang yang menyalurkan hobinya. Dan salah satunya adalah Naldo.
Namun, keadaan di luar tempat bermain itu menunjukkan bahwa alam tidak bersahabat dengan Naldo kala itu. Ia baru saja menyelesaikan permainannya saat hujan turun begitu derasnya. Awan yang sudah menggantung sejak Naldo berangkat dari rumah kos-nya ke tempat bermain futsal kini tumpah sudah. Tampaknya awan itu tak bisa lagi menahan kumpulan uap-uap air yang terkumpul sejak tadi siang, dimana matahari bersinar dengan amat terik.
”Aduh, udah jam delapan lagi nih,” batin Naldo bergejolak, ”Gimana caranya gue ke rumah Marissa?”
Dipandangnya langit yang malah bertambah kelam. Berharap ada jawaban yang akan terpatri disana. Dan memang, ia kemudian segera berjongkok. Ia tampak merapikan beberapa barangnya yang ada di dalam tas. Yang kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik, sebelum dikembalikan ke dalam tas. Setelah selesai ia bangkit kembali. Sejenak ia menonton derasnya hujan yang turun sebelum kembali memandang ke langit.

***

”Duh, mana sih si Naldo?” Marissa tampak berdiri di teras rumahnya yang ada di kompleks perumahan Pondok Hijau Golf. Gadis dengan tinggi 160-an sentimeter itu mengenakan pakaian rumah berupa kaos bertuliskan GIORDANO dan celana pendek yang tingginya di atas lutut. Merasakan dinginnya udara di luar sana, Marissa tampak menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang kemudian ditempelkan pada kedua pipinya yang chubby. Tidak tahan dingin, sesaat kemudian ia masuk kembali dan duduk di sofa yang terbalut kulit.
”Mana di hubungin ga masuk-masuk lagi,” raut wajahnya sudah menandakan bahwa tingkat bête-nya sudah cukup tinggi.
”Ahh, nyebelin banget sih,” Ia melempar blackberry ke sofa sebelum melangkahkan kakinya ke teras.
Kepala Marissa tampak bergantian menengok ke kanan dan ke kiri, melihat ke arah jalan di depan rumahnya. Hanya beberapa kendaraan yang tampak lewat malam itu. Ia lalu menoleh ke jam tangan bermerek ODM di tangan kirinya.
”Udah jam setengah sembilan nih. Jadi dateng ga sih thu orang? Paling nggak kasih tahu kek kalo ga dateng.”
Marissa sudah berputar hendak masuk ke dalam rumah saat bel rumahnya berbunyi. Dengan segera ia berbalik. Mata tampak memicing, berusaha menangkap bayangan orang yang berdiri di depan gerbang rumahnya tersebut. Dan, ia mengenalinya. Itu Naldo.
”Sorry Mar gue telat, tadi ujan jadi gue terpaksa jalan, ga ada ojek soalnya,” Naldo setengah berteriak karena hujan turun tanpa mengenal belas kasihan.

***

”Duh, lu gila ya?” Marissa yang tadi sudah mempersiapkan amunisi kini melunak melihat temannya basah kuyup oleh hujan. Ia menyerahkan selembar handuk kepada Naldo, namun tetap dengan sebuah protes, ”Kalo mau mati, jangan sekarang dong. Tugas kita belom kelar nih. Kenapa ga lu bilang aja lu gak ada kendaraan, jadi lu gak dateng. Hujannya kan gede banget. Apalagi petii….”
Marissa segera menutup telinganya saat sekelebat sinar seperti lampu flash pada kamera terlihat. Yang kemudian diikuti guntur membelah bumi.
”Tuh, baru aja diomongin,” Marissa melepas tangan dari  kedua daun telinganya.  
”Yaa,, ini kan terpaaaak….,” Naldo belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!!” Naldo mengambil tissue yang ada di atas meja, ”Minta ya Mar. Iya, terpaksa untuk tugas, kan takut nenek lampirnya marah lagi.”
”Hah? Apa lu bilang?” Marissa protes kepada Naldo yang kemudian dibalas dengan bersin.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!!” Naldo kembali mengambil tissue dari atas meja kaca yang kaki-kakinya dari kayu jati asli. Tipikal rumah kelas atas.
“Yaa, dia malah sakit sekarang kan,” Marissa kini duduk di hadapan Naldo, ”Hm, lu ganti baju dulu ge sana. Nanti malah masuk angin lagi lu. Ada baju kan? Nanti gue bikinin teh anget.”
Marissa kemudian bangkit dari sofanya dan berjalan ke arah dapur.
”Tuh, wc nya ada di deket wastafel situ,” ia menunjuk ke pintu yang ada di dekat tangga naik ke lantai dua.
Naldo kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ia lalu berjalan melewati sebuah ruang makan yang cukup membuat ia terpana untuk sejenak. Sebuah meja makan besar dengan bangku yang memiliki senderan tinggi mengelilinginya. Tak hanya itu, di hadapan setiap bangku, satu set perlengkapan makan sudah tertata rapi. Sungguh suatu pemandangan yang berbeda dari yang ia tahu. Naldo lalu melanjutkan langkahnya hingga ia menyadari lantai sudah basah oleh jejaknya.
”Sorry lantainya jadi basah,” setalha ia gagal untuk tidak meninggalkan jejak apa-apa di lantai, sebab itu memang tidak mungkin karena bajunya yang basah terus saja menetes.
”HAAACCHHEEEIIUUWWW!” suara bersin Naldo mengiringi langkahnya memasuki wc untuk berganti baju.

***

Lima menit, Naldo keluar dari wc. Ia kini telah menggunakan kaos dan celana yang kering sementara tangannya menenteng kantong berisi pakaian yang basah. Ia masih menggigil karena udara menjadi semakin dingin seiring jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 09.00.
Sementara sang pemilik rumah masih terdengar berada di dapur. Naldo berjalan di ruang tamu rumah itu sembari melihat-lihat foto yang terpasang di dinding. Satu per satu foto dilihat sekilas hingga ia tiba pada sebuah pigura yang nampak sederhana dibandingkan denagn yang lain. Tampak pada gambar, lima pria dewasa yang difoto dengan pose berdiri sementara pria yang ada di tengah memegang sebuah piala dan bola sepak. Lama Naldo memandangi foto itu, hingga ia tak menyadari Marissa sudah kembali.
”Itu foto bokap, waktu gue masih umur 8 tahun,” suara Marissa mengagetkan Naldo yang masih berdiri di depan gambar..
”Hm, bokap lu yang mana?” Naldo yang penasaran bertanya.
”Dia yang ada di tengah dan memegang piala itu.”
”Bokap lu suka main bola ya?” Naldo yang merasakan suatu kesamaan tampak tertarik.
”Iya, tapi itu dulu,” raut wajah Marissa sedikit berubah.
”Maksudnya?”
”Bokap udah meninggal waktu gue umur dua belas tahun karena leukemia.”
”Ow, maaf yaa,” Naldo tampak sangat menyesal menanyakan hal itu. Ia dengan segera kembali duduk.
”Gak apa kok, itu udah lama berlalu,” Marissa membawakan secangkir teh dan kini duduk di sebelah Naldo sembari menyodorkan secangkir teh hangat, ”Nih teh nya elu.”
”Makasih, Mar,” Naldo membalas dengan sebuah senyuman tanda terima kasih.
”Hm, bisa senyum juga ya lu?” Marissa sedikit tertawa. Nada suaranya terdengar menggoda sang tamu.
”Ya, bisa lah ya. Gue kan juga manusia,” Naldo ikut tertawa.
”Oya, baju lu pake sekarang mirip ya sama yang dipake bokap gue,” sejenak Marissa menoleh pada foto yang tadi dilihat Naldo.
”Iya tuh. Itu baju tim Liverpool. Tahu gak?” Naldo menoleh ke arah Marissa dimana pada saat yang bersamaan Marissa melihat ke arah Naldo sehingga dua pasang mata itu saling bertemu.
Untuk sejenak, suasana menjadi hening. Mata dua anak manusia itu masih bertaut. Sementara sayup-sayup dari luar rumah, suara hujan yang mengguyur sudah tidak sederas tadi.
”Eya, sorry ya yang waktu itu,” Naldo tiba-tiba memecah keheningan.
 ”Ehh,  ehh,, Sorry kenapa nih? Kapan? Kapan?” Marissa terlihat salting mendengar perkataan Naldo.
”Itu loh, waktu pertama kali ketemu, yang kata lu gue nyebelin itu. Trus waktu kita ga bole masuk kelas itu,” Naldo menjelaskan.
”Oh, ga apa kok, lupakan aja,” sebuah lesung pipit menghiasi senyum yang diberikan pada Naldo, ”Ternyata lu orang nya enak juga ya.”
”Heh, emanknya gue kue lapis apa?” muka Naldo memperlihatkan ekspresi anehnya.
”Dan jayuzzz,” Marissa menambahkan sembari tertawa.

***

Mereka asyik berbincang saat pintu rumah terbuka. Sesosok wanita setengah baya masuk ke ruangan itu. Naldo yang menoleh mendapati bahwa wanita itu memiliki kemiripan dengan sang bunda yang ada di rumah. Mungkin karena belakangan ia tahu bahwa itu adalah ibunda dari Marissa. Hanya saja mungkin ini versi modern dari sang bunda, sebab ia hampir selalu melihat sang bunda dalam balutan daster tidurnya.
Sementara, wanita yang ada di hadapnya sekarang tampak begitu berbeda. Menggunakan setelan kantor yang biasa ia lihat di sinetron, menenteng tas yang cukup besar, dan berpenampilan cukup gaul, wanita itu totally diferent dari wanita yang melahirkannya 18 tahun silam.
 ”Marissa? Kok ada cowo malem-malem di rumah?” kalimat pertama itu sungguh mengagetka Naldo.
”Iya ma, ini temen Marissa, namanya Naldo. Tadi mau bikin tugas bareng, tapi dia keujanan pas dateng. Jadi mpe sekarang lom bisa pulang,” Marissa menghampiri sang bunda yang lalu mencium pipi kiri dan kanannya.
”Hm, ujan udah berhenti kok sekarang,” wanita itu terus melangkah dan menaiki tangga.
Naldo yang dari tadi menyaksikan, hanya bisa diam. Ia bingung karena belum sempat sebuah sapaan ia lontarkan. Sosok itu sudah menghilang lagi dari pandangannya.
”Itu nyokap gue,” Marissa yang duduk kembali di sisi Naldo membuyarkan lamunannya, ”Ga usah terlalu dipikirin. Mungkin karena gue anak tunggal, jadi nyokap gue overprotektif banget.”
Senyuman dari Marissa sedikit banyak mengobati kekuatiran dari Naldo. Sejenak ia melirik pada sebuah jam antik dengan bandul besar yang ada tepat di sisi sofa tempat ia duduk sekarang.
”Gue pulang dulu ya,” Naldo kembali berpaling kepada Marissa.
”Loh? Kok cepet-cepet?” Marissa yang sedang bermain dengan blackberry-nya segera melihat ke arah Naldo.
”Ya, udah malem juga kan,” Naldo berdiri sembari membereskan barang-barangnya, ”Lagian kan gue jalan kaki.”
”Oh, ya sudah,” Marissa ikut beranjak dari tempatnya duduk, ”Bentar, gue ambil kunci dulu.”
Naldo melangkah ke pintu depan sementara Marissa berjalan ke dalam mengambil anak kunci.
”Hati-hati ya, Nald,” Marissa membukakan pintu gerbang untuk Naldo.
”Iya,” Naldo melambaikan tangannya, ”Thank you ya buat handuk dan teh hangat nya. Eya, sorry, kita ga jadi bikin tugas.”
”Ya, gampanglah. Besok-besok aja kita bikin, masih buat Januari kok,” sebuah lambaian dan senyuman menyertai langkah Naldo yang menjauh dari kediaman Marissa. Sementara tuan rumah memandangi tamunya hingga hilang di persimpangan jalan.

***

Comments

Popular posts from this blog

Benua Biru - Bag 2

Jumat 25 Juli 2014 Selamat Pagi! Fajar hari itu dilalui dari dalam perut burung besi berkode 777-200 rute Dubai-Milan. Berbagai brosur untuk mempermudah perjalanan Anda di Milan Seperti jadwal yg tertera, pesawat pun mendarat di Malpensa Aeroport, Milan, Italia, pk. 8.45 waktu setempat. 3 jam perkiraan waktu dihabiskan di penerbangan kedua ini. Tapi lumayan memberikan semangat karena disinilah perjalanan DIMULAI! Bandara Malpensa di Milan dapat dikatakan tidak terlalu besar, tapi tetap tertata rapi dan menyenangkan. Berbagai penanda dibuat untuk memudahkan pelancong. S bantal boneka yg menemani perjalanan di Benua Biru Singkat kata, akhirnya setelah memastikan semua barang bawaan sudah tersedia, kami menuju ke Bus yg menanti. Di Eropa, yg terdiri dari satu daratan luas dengan banyak sekali negara, memungkinkan bus dari negara lain untuk bisa melayani lintas batas. Seperti bus yg kami tumpangi. Stiker di badan bus bertuliskan Molteam, dan bus itu ternyata b...

Bersama Singkong, Sidik Mengejar Kesuksesan

Beberapa saat lalu, saya sudah menuliskan perjuangan dari seorang pengusaha kerupuk singkong dari Bekasi. Berikut beberapa foto yang diambil penulis. Sidik tengah duduk di ruang tamu rumahnya. Tampak di latar foto dirinya bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla ketika menerima penghargaan dari salah satu stasiun tv swasta. Sidik di atas sepeda motor yang digunakan untuk menjual keripik buatannya ke Jakarta. Sidik dan sepeda motor yang merupakan hadiah atas penghargaan yang diterimanya dari salah satu stasiun tv swasta. Sepeda motor ini khusus dimodifikasi untuk mengakomodir kekurangan yang dimiliki Sidik. Sidik tengah memperhatikan potongan singkong yang sedang  dijemur. Terkadang ia harus menghalau kambing-kambing yang tertarik dengan singkongnya. Sidik dan singkong yang sudah kering dijemur . Salah satu peralatan yang digunakan untuk membuat kerupuk singkong. Dengan alat ini, singkong yang masih mengandung air diperas hingga kering. Da...

Ketika Anak Bukan Lagi "Permata" Dalam Keluarga

Analisa buku A Child Called “It” Keluarga, tidak bisa dipungkiri memegang peranan yang amat penting dalam kehidupan semua orang, termasuk setiap kita. Hadir dalam sosok bayi mungil yang tidak tahu apa-apa, individu-individu terdekat inilah yang kelak membentuk dasar dan nilai-nilai kehidupan yang kita miliki, termasuk di dalamnya konsep diri. Terkait hal tersebut, maka ada dua kemungkinan yang bisa dihasilkan melalui peran dari orang-orang terdekat ini. Yang pertama adalah konsep diri yang positif dan yang kedua adalah konsep diri yang negatif. Konsep diri positif itu secara langsung akan membentuk pribadi yang memahami jelas kemampuan apa yang ada dalam dirinya, termasuk juga kepribadiannya, dan tentu saja selalu berpikir positif terhadap dirinya. Sedangkan konsep diri yang negatif akan membangun suatu individu yang bahkan tidak dapat menjelaskan siapa dirinya, kemampuannya, kepribadiannya, dan juga yang selalu berpikir negatif tentang dirinya. Kembali pada peran keluarga diat...