![]() |
http://www.ehow.com/facts_5397980_tear-stains-maltese-dog.html |
“Putih, makanannya dimakan dong,” ujar seorang remaja
putri sembari menyodorkan wadah berisi nasi dan lauk kepada seekor anjing.
Siang itu, porsi makan yang diberikan tampak lebih
banyak dari pada biasanya. Sang pemilik
mempersiapkan kemungkinan terburuk dimana si anjing dapat saja tidak makan
berhari-hari akibat perawatan yang buruk di tempat penitipan hewan milik
negara. Tapi, tak sedikitpun anjing itu tertarik akan makanan tersebut.
“Ma, si putih kok enggak mau makan ya?” tampak raut
kuatir di wajah remaja putri itu. Sejenak, ia melirik kepada sang ibu. “Masa sih dia ikutan
puasa kaya kita?” tanyanya.
“Sudahlah Ling, mungkin dia belom lapar,” nada bicara
sang ibu juga tidak kalah getir daripada anak keduanya tersebut.
“Iya, daripada kita kuatir terus menerus, bagaimana
kalau kita berdoa saja,” sang ayah menimpali dengan usul yang jarang sekali
terucap. Maklum, ia bukanlah orang percaya layaknya sang istri dan anak perempuan
tertua mereka.
“Benar, ayo kita berdoa saja,” semangat sang ibu mulai
bangkit, “Mumpung orang dari tempat penitipan hewan belum datang.”
Sejenak, mereka bersama-sama menundukkan kepala.
Bersama-sama berdoa. Dan bersama-sama mengucapkan amin di akhir doa mereka.
Tiba-tiba.
TING-TONG.
***
Dua hari sebelumnya.
“Hah?!?! Si putih gigit orang Ma?” kabar itu bak
halilintar yang menggelegar di tengah teriknya sinar matahari bagi sekretaris muda seperti A Wen, “Kok
bisa, Ma?”
Dengan seksama kemudian ia mendengarkan penuturan dari
sang ibu yang tiba-tiba saja menghubunginya
lewat telepon genggam. Siang itu, ia tidak bisa bekerja dengan maksimal. Pikirannya pun melayang kepada
seekor anjing ras shitsu yang beberapa tahun terakhir menjadi anggota
keluarganya yang keenam.
Masih lekat di ingatannya ketika sang ibu membawa
pulang anjing tersebut dua tahun silam. Pemiliknya tidak mau memelihara anjing
itu. Demikian penjelasan sang ibu ketika ditanya oleh ketiga putrinya.
Sejak itu, anjing yang diberi nama si putih karena
warna bulunya begitu setia menemani keluarga kecil tersebut. Si putih akan
menggonggong riang, bahkan sebelum pemiliknya keluar dari lift yang mengantar
mereka ke tingkat 17, lantai dimana apartemen
mereka berada.
Namun, kenangan itu agaknya tidak kan lagi berlanjut. Yang terbayang kini adalah setumpuk masalah yang menunggu mereka.
Di Hongkong, memelihara anjing bukanlah hal yang
dilarang, asalkan saja anjing itu bersertifikat dan memiliki ijin, dan tentu saja, anjing tersebut tidak melukai orang lain. Tapi, si
putih, anjing satu-satunya dan merupakan kesayangan keluarga itu, baru saja
menggigit orang.
Mungkin tidak akan
jadi masalah besar jika orang yang digigit mau dibawa ke dokter swasta, namun,
jika dibawa ke dokter pemerintah, maka masalah akan membesar. Dokter dapat saja melapor ke polisi, dan
polisi akan meneruskan ke departemen yang mengurus hewan. Ujungnya dapat
ditebak, anjing itu akan dibawa.
Selesaikah
persoalan itu? Tidak!
Orang yang digigit itu kemudian melapor kepada
pengurus apartemen dimana keluarga kecil itu tinggal. Dan akibatnya, poin
mereka akan dikurangi, dan jika poin yang dimiliki habis, mereka harus pergi
dari apartemen tersebut.
“Tuhan tolong,” lirih kalimat yang terucap dari bibir
A Wen tatkala ia harus menyelinap ke kamar kecil untuk sesekali berdoa. Tidak
sanggup ia memikirkan masalah yang dihadapinya. Tapi, ia percaya, ia bisa
berharap pada Tuhannya.
***
Siang itu, lorong rumah sakit pemerintah yang
didominasi warna putih tampak tidak terlalu ramai. Di salah satu sisi dimana
terdapat deretan bangku, seorang bapak paruh baya duduk. Di kakinya, ada bekas
luka.
Tak jauh di sebelahnya, tampak sang ibu dari keluarga tersebut terduduk lesu. Ia sudah
beberapa kali meyakinkan bapak tadi untuk pergi berobat ke dokter swasta meski
biaya pengobatannya akan lebih mahal ketimbang dokter
pemerintah. Bapak itu bergeming.
Sejenak, seorang suster memanggil nama
bapak paruh baya itu. Dengan perlahan ia masuk. Sang ibu yang harus bertangung
jawab mengikuti dengan langkah gontai. Tak terkatakan lagi perasaan yang
berkecamuk dalam hatinya. Namun, ibu ini tidaklah putus harapan. Ia terus
berdoa.
“Ah, luka ini hanya luka kecil kok.
Tidak akan menjadi masalah,” perkataan dokter pemerintah seakan menjadi jawaban
doanya. Setelah menyelesaikan administrasi dan membayarkan biaya pengobatan
bapak itu, sang ibu tidak sabar untuk membawa kabar ini ke rumahnya. Meski rasa
kuatir itu belum pudar sepenuhnya. Dalam hatinya, ia tetap bersyukur.
“Hah?!?!?!” seisi rumah itu seakan tidak
percaya.
“Ya, masih ada kesempatan. Mungkin si
putih tidak jadi dibawa oleh petugas hewan,” sang ibu menjelaskan panjang lebar
mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Baginya, ini adalah mujizat.
Keajaiban yang berasal dari Allah yang dipercayanya.
“Tapi, kita masih harus menanti ketika
pemiliki apartemen datang esok hari.”
Malam itu mereka lewati tanpa lupa
berdoa dan berharap.
***
TING-TONG.
Hati mereka sangat gentar tatkala bel
pintu berkumandang di seisi apartemen mungil itu. Bagi mereka, suara bel itu
mungkin terasa lebih kencang ketimbang hari-hari biasanya. Perlahan, sang ibu
membukakan pintu.
Agak lama waktu yang diperlukan oleh
sang ibu untuk berbincang-bincang dengan pengurus apartemen. Sementara itu,
seisi keluarga dipenuhi rasa cemas. Cemas bahwa hari ini mereka harus berpisah
dari anjing kesayangannya. Rasa takut bahwa ini adalah hari terakhir mereka
bersama.
KREKK. Suara pintu apartemen menutup
perlahan.
Sang ibu lalu berbalik, kembali menemui
keluarga yang menunggu di dalam. Kali ini, dengan senyum mengembang di
wajahnya.
“Si putih tidak jadi dibawa. Poin
keluarga kita juga tidak dikurangi.”
Ceria. Gembira. Tertawa. Mungkin pula
tangisan. Kebahagiaan keluarga ini tidak dapat dinyatakan dalam tulisan. Meski
seindah apapun tulisan itu berusaha dibuat. Beban yang beberapa hari terakhir
ini menghantui, kini lepas sudah. Tidak
lupa pula mereka memeluk erat si putih. Anjing kesayangannya.
“Pengurus apartemen hanya bertanya
tentang kejadiannya. Dan tentang pengobatan orang yang digigit,” sang ibu
memamparkan perlahan, “Setelah itu dia pergi, tanpa memberikan sanksi bagi
keluarga kita.”
Sungguh, tidak habis rasa syukur mereka.
Kejadian yang tampak sepele di mata banyak orang ini telah mengajar banyak hal
pada keluarga kecil ini. Terutama bagi sang ibu dan putri tertuanya yang sudah
percaya pada Tuhan.
Dengan berharap pada Tuhan, mereka
terhindar dari mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pengobatan di dokter
swasta. Hal ini tentu sangat berpengaruh karena mereka bukanlah orang yang
sangat berkelimpahan. Di sisi lain, mereka melihat bagaimana Tuhan bertindak
melalui cara yang tidak pernah dibayangkan oleh manusia untuk menyatakan
kuasanya. Sehingga mereka tetap dapat bersama-sama dengan si putih.
Dari kisah ini, kembali disaksikan bahwa
Tuhan sangat peduli kepada kehidupan anak-anaknya, hingga segi terkecil
kehidupan mereka, dan........Tuhan peduli
kepada.........seekor anjing.
Comments
Post a Comment